1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Terowongan "Penyelundupan" antara Mesir dan Gaza

4 Februari 2009

Israel meminta terowongan antara Mesir-Jalur Gaza ditutup, sebab penyelundupan senjata yang melaluinya sampai ke Israel. Tapi selama perbatasan ditutup, onderdil mobil, kompor, popok bayi juga melalui terowongan itu.

https://p.dw.com/p/GmzC
Sebuah terowongan antara Jalur Gaza dan Mesir di RafahFoto: picture-alliance/ dpa

Sebuah pasar di pusat Gaza City satu pekan setelah gencatan senjata. Petani dari kawasan sekitar menjual tomat, kentang dan jeruk. Barang-barang lain yang dijual datang dari luar negeri. Sebagian dari Israel, kebanyakan dari Mesir.

Lima batang sabun untuk 10 Shekel. Demikian teriak seorang penjual. Itu kira-kira 25 ribu rupiah. Di Mesir harga sabun itu hanya setengahnya. Tapi harga sebuah terowongan 70 ribu dollar Amerika Serikat. Modal itu harus kembali diperoleh para investor. Banyak warga Palestina yang dulu bekerja di Israel, sekarang bekerja di terowongan-terowongan itu. Mitra bisnis mereka tinggal di kawasan di bagian perbatasan lainnya, di kota Rafah bagian Mesir. Mereka tidak ingin disebut penyelundup. Seorang pria di Barameh

„Jalur Gaza terisolir. Kami harus membantu mereka, kami semua. Anak-anak di sana ingin biskuit. Saya mengirim susu, teh, apa saja. Tapi pemerintah Mesir menuduh saya."

Kebanyakan pria di kawasan Barameh di Rafah dikenai hukuman penjara oleh pengadilan militer, tanpa kehadiran mereka. Jika tertangkap, mereka ditunggu hukuman penjara 10 tahun. Mereka tidak lagi tidur di rumah dan mengambil jalan putar untuk menghindari Checkpoint. Saat ini delegasi pakar Amerika Serikat berada di sana. Dimana-mana jalan-jalan diblokir. Demikian dilaporkan seorang penyelundup. Tekanan dari luar negri tampaknya menunjukkan pengaruhnya. Tapi penutupan terowongan itu sulit bagi Mesir juga secara politik dalam negeri, karena menjadi sumber pendapatan utama di kawasan utara Sinai yang terabaikan. Seorang pria mengatakan

„Jika mereka tidak lagi menginginkan penyelundupan, mereka sebaiknya membuka kembali perbatasan. Maka penyelundupan akan berakhir. Kami semua bekerja di perbatasan. Di sana ada sekitar 1200 taksi yang dua sampai tiga kali sehari bergerak hilir mudik. Seluruhnya pasti 5000 orang yang hidup dari mengandalkan perbatasan."

Kini mereka hidup dari terowongan-terowongan itu, dan bagi sejumlah orang itu tidak terlalu buruk. Di kedua bagian perbatasan berdiri bangungan villa yang tampak baru. Yang tidak mungkin cukup dibiayai hanya dari menyelundupkan teh dan biskuit. Warga di Barameh mengaku mereka hanya menyelundupkan diesel ke Gaza bukan senjata.

Tapi sangat mudah memperoleh senjata. Di samping kursi pengemudi dengan ditutupi seadanya tampak senjata Rusia. Harganya kira-kira 1000 Euro, kata sang empunya. Di luar kota di kawasan kebun zaitun, orang dapat juga bertemu dengan para penyelundup, yang mengaku membawa senjata di kendaraannya. Mereka menutupi wajah mereka dan menawarkan 1000 dollar untuk melihat senjata di terowongan. Menurut seorang seorang penyelundup diesel, bisnis berjalan lancar, bahkan serangan udara tidak mengubah kondisi tersebut.

Sejak satu setengah tahun Israel menentukan apa saja dan berapa banyak yang boleh diimpor ke Jalur Gaza. Sejak gencatan senjata, bantuan barang kembali bergerak ke Jalur Gaza. Saat ini sekitar 70 sampai 120 truk sehari. Tapi itu tidak mencukupi seluruhnya demikian dikatakan John Ging kepala badan bantuan pengungsi PBB urusan Palestina di Jalur Gaza

„Itu paling tidak cukup untuk memperpanjang hidup. Hidup tapi sengsara. Sekarang 140 truk kami tiba untuk 1 setengah juta orang. 18 bulan lalu dalam satu hari 600 truk datang. Ini memungkinkan terjaganya relasi antara kebutuhan dan realita. Selain itu kami sekarang pasca perang memiliki kebutuhan lebih besar. Sementara ini kami hanya memperoleh 20 persen dari apa yang kami butuhkan."

Selama situasi itu masih terjadi, terowongan di bawah Rafah akan terus beroperasi. (dk)