1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJerman

Tentang Kematian dan Acara Pemakaman di Jerman

Fransisca Sax
12 Februari 2022

Saya mendapati memang pembicaraan tentang kematian orangtua biasa dilakukan secara terbuka di Jerman, baik di tengah keluarga maupun secara hukum. Oleh Fransisca Sax.

https://p.dw.com/p/46ufA
Gereja di Jerman
Gereja tempat Oma disemayamkan sebelum pemakamanFoto: Fransisca Sax

Kematian adalah bagian dalam kehidupan sehari-hari di manapun kita berada. Terdapat persamaan dan perbedaan bagaimana masyarakat menghadapi kematian sesuai dengan kebiasaan, kebudayaan atau peraturan yang berlaku di tempat masing-masing. Selain itu terdapat pula persamaan dan perbedaan bagaimana individu memaknai dan memproses rasa duka dan kehilangan yang dialami. Pengalaman inilah yang saya amati dan lalui di Jerman di penghujung tahun 2021 lalu.

Fransisca Sax
Fransisca SaxFoto: Fransisca Sax

Pada bulan November lalu Oma meninggalkan kami sekeluarga di usianya yang ke-86 tahun. Suami saya adalah salah satu cucu Oma bersama dengan 11 sepupunya yang lain. Saya pertama kali berkenalan dengan Oma di acara Natal keluarga di rumahnya. Kala itu Oma masih sehat, masih tinggal di rumah sendiri, dan bahkan masih menyetir mobil sendiri sehari-hari untuk berbelanja atau pergi ke dokter. Sepulang dari acara Natal kala itu, Oma memberi saya hadiah coklat dan selai anggur buatannya sendiri. Sebelumnya saya bercerita bahwa di keluarga saya di Indonesia tidak ada tradisi tukar kado di hari Natal. Sepertinya Oma merasa kasihan dan tidak ingin saya pulang dari acara Natal dengan tangan kosong. Setelah pindah ke Jerman, saya dan suami sering mengunjungi Oma. Sebelum pandemi hampir setiap minggu kami kumpul-kumpul di rumah Oma: makan kue sambil mengobrol, minum bir atau Cola-Mix di musim panas, dan minum Glühwein di musim dingin.

Sayangnya sejak 4 tahun lalu kesehatan Oma terus menurun, baik fisik maupun psikis. Awalnya Oma jatuh di kamar mandi dan harus dirawat beberapa kali di rumah sakit sebelum kemudian harus pindah ke panti werdha. Oma tidak keberatan tinggal di panti werdha karena memang beliau tidak bisa lagi mandiri mengerjakan tugas rumah sehari-hari. Staf di panti juga memiliki pendidikan yang sesuai sehingga dapat memberikan perawatan secara profesional kepada penghuni panti. Kami rutin mengunjungi Oma di sana, walaupun lambat laun Oma sayangnya tidak bisa mengenali kami lagi akibat penurunan fungsi kognitif yang dialaminya.

Sewaktu masih sehat, Oma sudah mempersiapkan wasiat dan pembagian warisan untuk anak-anaknya. Acara pemakaman atau Trauerfeier juga sudah dipikirkan oleh Oma: dari kebaktian di gereja hingga acara kebersamaan keluarga setelah kebaktian. Saya mendapati memang pembicaraan tentang kematian orangtua biasa dilakukan secara terbuka di Jerman, baik di tengah keluarga suami saya maupun secara legal. Ketika tinggal di panti werdha misalnya, Oma juga mengisi Patientenverfügung, yaitu sebuah dokumen legal yang mengatur bagaimana prosedur medis harus dilakukan bila pasien tidak lagi mampu untuk mengambil keputusan sendiri. Dokumen ini penting untuk dipersiapkan. Di hari-hari terakhirnya Oma tidak mau lagi makan dan hanya berbaring di tempat tidur. Berdasarkan kesepakatan di Patientenverfügung, Oma tidak menerima prosedur medis lanjutan hingga beliau menghembuskan nafas terakhir.

Peti jenazah
Peti jenazah Oma, sehari senelum pemakamanFoto: Fransisca Sax

Acara pemakaman Oma berlangsung dengan khidmat dan hanya dihadiri oleh keluarga dekat Oma. Semua menggunakan pakaian berwarna gelap atau Trauerkleidung. Di gereja, pastor membacakan riwayat hidup Oma dan membagikan janji penghiburan untuk keluarga. Seusai kebaktian kami berjalan kaki mengantar peti Oma ke tempat pemakaman yang berlokasi dekat gereja. Oma dikuburkan di liang yang sama dengan suaminya. Setelah diberkati oleh pastor, kami menabur bunga di pusara Oma. Tidak ada tangisan, semua berjalan dengan tenang. Setelah itu kami makan bersama di sebuah Wirtshaus atau restoran tradisi pilihan Oma. Suasana kekeluargaan kental terasa setelah kami jarang berkumpul akibat pandemi.

Suasana yang berbeda saya alami ketika menghadiri acara pemakaman Claudia, istri salah satu teman suami saya. Claudia meninggalkan suami dan kedua anaknya di bulan Desember, setelah hampir setahun menghadapi Leukemia atau kanker darah. Saya pertama kali berkenalan dengannya di acara pernikahan saya dan suami. Setelah itu kami sering bertemu di acara Fußballverein atau klub sepakbola, di mana suami kami bersama-sama latihan rutin. Claudia aktif mengorganisir acara kebersamaan anggota Fußballverein di luar latihan, misalnya acara makan Steckerlfisch (ikan panggang), atau acara jalan-jalan ke luar kota (Ausflug). Claudia biasanya berbicara dengan tempo cepat dan dengan dialek Bayrisch, dialek khas penduduk di Jerman bagian selatan. Namun saat berbicara dengan saya, ia sengaja berbicara dengan bahasa Jerman standar dan dengan tempo yang lebih lambat, agar saya tidak kesulitan untuk berkomunikasi dengannya.

Tidak hanya saya yang merasa kehilangan akan kepergian Claudia. Keluarga, rekan kerja, serta teman-teman Claudia dari Fußballverein dan Freiwillige Feuerwehr (organisasi relawan pemadam kebakaran) turut merasakan hal yang sama. Sekitar 40 orang berkumpul di luar gereja untuk menyampaikan perpisahan kepada Claudia. Kami mengikuti kebaktian dari luar gereja, sebelum akhirnya mengantar guci berisi abu jenazah Claudia di tempat terakhirnya di tempat pemakaman. Di Jerman, abu jenazah tidak boleh dilepaskan di luar tempat pemakaman, misalnya di laut atau dibawa pulang ke rumah keluarga. Abu jenazah harus ditempatkan di guci khusus dan diletakkan di tempat pemakaman.

Guci berisi abu jenazah
Guci berisi abu jenazah ClaudiaFoto: Fransisca Sax

Berbeda dengan di pemakaman Oma, Claudia khusus berpesan agar tamu di pemakamannya tidak menggunakan Trauerkleidung, atau pakaian berwarna gelap. Kami juga diharapkan tidak mengucapkan belasungkawa kepada keluarga di tempat pemakaman. Di samping itu keluarga Claudia tidak menerima uang dukacita, namun mengarahkan untuk mendonasikan uang tersebut ke salah satu lembaga untuk penelitian dan pelayanan pasien kanker. Selama kebaktian ada beberapa lagu favorit Claudia yang dinyanyikan di gereja, walaupun bukan merupakan lagu rohani, salah satunya „Das Beste" dari grup Silbermond.

Semua relasi sosial akan berujung pada perpisahan, salah satunya lewat kematian. Menjalin relasi sosial di perantauan memang tidak mudah, apalagi di masa pandemi. Saya merasa sedih harus berpisah dengan Oma dan Claudia, namun saya juga bersyukur bisa mengenal dan memiliki momen kebersamaan yang hangat dengan mereka. Kebaikan dan keramahan Oma dan Claudia akan saya teruskan kepada orang-orang di sekitar saya.

Pfiade, Oma.

Pfiade, Claudia.

 

*Fransisca Sax tinggal dan bekerja sebagai psikolog anak dan remaja di München, Jerman. Tulisannya tentang layanan psikologi, psikoedukasi untuk kesehatan mental dan promosi inklusi sosial di masyarakat dapat dibaca di Instagram @psychatter_ atau di situs psychatter.com.

**DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan satu foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri. (hp)