1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Resolusi PBB Tak Hentikan Serangan Israel di Jalur Gaza

10 Januari 2009

Meskipun resolusi PBB menuntut Israel menarik pasukan. Jumat malam, Israel masih terus membombardir Gaza.

https://p.dw.com/p/GVRL
Foto: AP/DW Fotomontage

Tekanan terhadap kedua pihak yang bertikai di Jalur Gaza meningkat. Hari Jumat, utusan Hamas berangkat ke Kairo. Sejak Kamis, Mesir sudah mengundang wakil-wakil pemerintahan Israel dan Palestina untuk membicarakan rencana gencatan senjata. Namun semuanya berlangsung tanpa hasil yang diharapkan.

Sejak dini hari Jumat (09.01), Angkatan Udara dan Laut Israel sudah membombardir 30 taget baru di Jalur Gaza. Begitu laporan media Israel yang mengutip sumber-sumber Palestina. Bersamaan dengan itu, Kabinet Keamananan Israel membahas apakah akan menerima Resolusi PBB atau justru meluaskan serangan daratnya.

Terkait dengan resolusi yang diputuskan Kamis malam di New York, Menteri Luar Negeri Israel Tzipi Livni menegaskan bahwa langkah Israel akan tergantung atas pertimbangannya sendiri. Dalam sebuah wawancara dengan radio militer, wakil Perdana Menteri Eli Jischai dari partai Schas yang ultra-ortodoks menegaskan: “Saya rasa situasi ini sudah dapat diprediksi sebelumnya. Saya yakin, bahwa keputusan PBB dan juga reaksi dunia- mirip aktifitas seorang pelobi bagi organsisasi teror. Sikap dunia juga cenderung membela Hamas. Israel bertempur untuk melindungi warganya. Karenanya Israel harus menggunakan seluruh kekuatannya. Saya rasa belum ada keputusan untuk menggulingkan pemerintah Hamas, karena itu kita harus melanjutkan operasi ini, meskipun sudah ada resolusi PBB.”

Harian Jediot Achronot melaporkan tentang perbedaan pendapat dalam jajaran teratas pemerintah Israel. Perdana Menteri Ehud Omert menginginkan peluasan serangan darat. Menteri Pertahanan Ehud Barak menentang pelaksanaan fase ketiga operasi militer di jalur Gaza, ia memilih pelaksanaan gencata senjata seperti yang dibahas di Mesir. Sedangkan Menlu Tzipi Livni ingin agar operasi tersebut berakhir segera, tanpa ada gencatan senjata.

Jumat siang, Israel ditembaki hampir 20 roket. Di Ashdod, Ashkelon dan dekat Beer Sheva sirene peringatan berulang kali terdengar. Sampai kini belum ada laporan cedera. Begitu diberitakan media Israel.

Sementara di jalur Gaza, Perserikatan Bangsa Bangsa melaporkan, ada hampir 20 ribu warga Palestina di 27 kamp pengungsian darurat yang sementara ini tersedia. Diantaranya di dalam sekolah di Jabalia.

Warga sipil menanggung beban terbesar dari kekerasan yang berlangsung, terutama anak-anak di bawah 14 tahun. 56% persen penduduk Palestina adalah anak-anak, begitu tercantum dalam laporan PBB mengenai situasi kemanusiaan di Gaza. Hampir separuh dari 3100 orang yang cedera adalah anak-anak dan perempuan. Sepertiga dari semua korban tewas adalah anak-anak. Situasi kesehatan penduduk Gaza sangat mengkhawatirkan. Sejak berlangsungnya operasi militer Israel, kelahiran melalui operasi Cesar tidak lagi dilakukan, karena semua ruang operasi digunakan untuk mengobati penduduk yang terluka. Setiap harinya antara 150 hingga 200 bayi lahir di jalur Gaza. Sekitar 17% dari semua ibu hamil perlu bantuan operasi Cesar untuk melahirkan anaknya.

Warga Palestina yang memiliki paspor asing dan berhasil meninggalkan Gaza, menceritakan di perbatasan Erez, apa yang dialaminya selama dua pekan terakhir. Sembari menggandeng anaknya, seorang perempuan bercerita mengenai teror yang dialaminya: “Setiap hari ada orang dari militer Israel yang menghubungi kami dan mengatakan: Anda akan melihat lebih banyak dari pemandangan ini, ini tidak cukup untuk kalian, dan ini adalah karena kalian sendiri dan Hamas. Ini tidak akan berhenti.”

Di Gaza-City hari Kamis, seorang warga Ukraina yang bersuamikan seorang dokter Palestina, bersama putranya yang berusia satu tahun tewas di apartemen mereka akibat tembakan Israel, begitu diberitakan harian New York Times dan Tim Bantuan Darurat Palestina.(ek)