1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ramai Berburu Jastip demi Dapatkan Barang Idaman

3 Maret 2023

Jasa titipan atau jastip belakangan ramai digunakan oleh warga di Indonesia. Pemakai jasanya ingin berburu barang idaman edisi terbatas di luar negeri hingga sekadar iseng.

https://p.dw.com/p/4OBbY
Gambar ilustrasi membayar jasa titipan
Gambar ilustrasi membayar jasa titipanFoto: Jake Jakab/Addictive Stock/IMAGO

Banyak jalan menuju Roma, termasuk ada banyak jalan untuk dapat benda incaran. Jika berbelanja online tidak bisa memenuhi keinginan, jasa titip alias jastip sering jadi pilihan.

Fandi adalah salah satu orang yang memetik keuntungan dari jastip. Meski mengaku ini hanya bisnis sampingan, baginya jastip mendatangkan komisi yang lumayan dan kepuasan pribadi untuk berbelanja. Pria yang tinggal di Frankfurt, Jerman, ini sebenarnya tak membuka bisnis jastip formal. Tidak ada platform khusus untuk jasanya, hanya bisnis musiman tiap kali dia pulang kampung.

"Setiap kali pulang ke Indonesia, saya biasanya woro-woro di media sosial buat ajakin teman-teman ketemuan. Tapi dari situ ada yang titip. Dari 1-2 orang, lama-lama banyak yang ikutan nitip," ucapnya kepada DW Indonesia.

Bermula dari jasa titip barang atau peralatan masak lainnya, lama-kelamaan jastipnya berubah jadi jastip berbagai barang mewah, dari barang keluaran terbaru sampai edisi terbatas yang langka. "Kebanyakan orang carinya yang limited edition atau yang di Indonesia itu tidak ada."

Dia mengungkapkan saat ini pelanggannya kebanyakan berasal dari mulut ke mulut dan instagram. Uniknya, mayoritas bukanlah orang Jakarta.

"Saya memang minta pembayaran penuh karena barang yang saya beli juga punya harga yang fantastis, dan jelaskan kalau saya tidak dapat tax free juga di sini karena permanent resident. Tapi biasanya mereka tidak ada masalah."

Fandi mengaku bahwa dia tak 'takut' untuk menjabarkan semua detail komisi yang dimintanya. Rerata komisi yang diambilnya berkisar 7-10%, bahkan ada yang 50%. Besaran komisi ini berdasarkan kelangkaan, harga, dan usaha yang harus dikeluarkannya untuk mendapatkan barang tersebut. Misalnya, apakah untuk mendapatkan barang itu dia harus mengambilnya di negara lain atau bisa dibeli langsung di Jerman, atau bisa dibeli secara online.

"Kalau yang sampai minta komisi 50% itu karena sudah termasuk akomodasi dan tiket, karena saya harus pergi ambil barangnya ke negara lain. Selain itu saya harus bawa sendiri barang ke Indonesia dan pakai asuransi."

Punya pelanggan khusus

Meski terlihat menyenangkan dan dapat cuan banyak, Fandi tak merencanakan ini untuk jadi bisnis tetap. Bisnis ini hanya bakal dijalankan sesekali, saat dia pulang ke Indonesia. Dia tak mau ngoyo hanya demi cari cuan dari jastip.

"Just for fun. Karena saya juga tidak suka kalau harus live shopping, ribet. Dulu sempat pernah live, sudah sampai bolak-balik video dan foto akhirnya tidak jadi padahal sudah sejam di toko."

"Sebaliknya, senang karena ini ada sensasinya gitu belanjain duit orang. Serunya sih di bagian hunting-hunting barang sampai dapat itu," ucapnya diiringi tawa.

Bisnis ini memang punya risiko yang cukup tinggi. Namun sebagai penyedia jasa, Fandi sebenarnya tak terlalu khawatir lantaran targetnya yang cukup tersegmentasi. Dia juga mengaku tidak memeriksa latar belakang kliennya terlebih dahulu. "Mereka yang harus cek latar belakang dan kredibilitas saya dalam bisnis ini." 

Pengguna jastip wajib hati-hati

Kredibilitas dan rekam jejak bisnis jastip memang jadi salah satu penentu kepercayaan pelanggan. Sebagai pelanggan jastip, Wulandari S. Putri juga sudah tak ragu 'kepo' dan investigasi kecil-kecilan sebelum 'menitip.'

"Biasanya saya lihat dari media sosial, rekomendasi artis-artis, dan ada juga rekomendasi temannya," ucap Wulan kepada DW Indonesia.

Wulan sendiri bukan baru pertama kali mengandalkan jastip untuk mendapat barang-barang yang diinginkannya. Beberapa barang yang biasanya dibeli lewat jasa ini antara lain casing hp, tas bermerek, dompet, sampai gantungan kunci. Meski pesan barang bermerek, dia menyebut bahwa barang yang dipilihnya pun kurang dari Rp7 juta per buah.

"Dari situ ya dikepoin lagi semuanya mulai dari profil orang itu, followers-nya, siapa saya yang rekomendasikan. Sampe cek juga kalau di Instagram itu kapan akunnya dibuat kan, bisa kelihatan juga kalau ada yang sudah gonta-ganti nama dan lainnya. Biasanya kalau create akunnya sudah dari lama dan bisnisnya sama, biasanya valid. Jangan lupa cek testimoni."

Wulan punya standarnya sendiri buat mengecek testimoni tersebut. "Kalau testimoni hanya capture dari pesan singkat, sekadar thank you atau capture-an bukti transfer banyak yang nipu. Kalau buat saya, ya harus ada foto barangnya juga di capture testimoninya kalau barangnya sudah sampai dan bagus. Baru saya percaya. Setelah itu, tes dulu coba beli barang yang murah."

Menurutnya, salah satu faktor penentu lainnya adalah soal metode transaksi. Beberapa akun jastip ada juga yang menyediakan pembayaran DP terlebih dulu sampai pembayaran via marketplace yang dianggapnya lebih aman. Ia pun menegaskan bahwa pembeli harus sangat berhati-hati.

"Teman pernah ada yang kena tipu, dibilang barangnya ditahan di bea cukai dan harus bayar sejumlah uang yang nominalnya lebih besar dari harga barang. Dikirimin foto KTP 'pelaku' dan foto seolah-olah ada di bea cukai. Ternyata setelah dicek di internet, dia hanya ambil foto online. Lapor polisi dan bank ternyata juga tidak membantu. Akhirnya Cuma bisa lapor ke bank kalau ini rekening penipuan saja."

Apakah jastip merugikan negara?

Menurut laman resmi Bea Cukai, istilah jastip mengacu pada kegiatan yang dilakukan oleh orang yang sedang bepergian ke luar negeri dan membuka jasa pembelian barang untuk orang lain.

"Yang perlu digarisbawahi adalah barang dari luar negeri yang masuk ke wilayah Indonesia akan dikenakan pajak yang terdiri dari bea masuk, cukai, dan pajak dalam rangka impor," tulis mereka.

Kepala Subdirektorat Hubungan Masyarakat dan Penyuluhan, Hatta Wardhana, mengungkapkan bahwa secara terminologi, Bea Cukai tidak menggunakan istilah jastip, tetapi barang bawaan penumpang. 

"Aturan terkait pembawaan barang oleh penumpang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 203/PMK.04/2017 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Barang yang Dibawa Oleh Penumpang dan Awak Sarana Pengangkut," ujarnya seperti dikutip dari laman beacukai.go.id.

Dalam aturan tersebut dituliskan bahwa impor barang penumpang dikategorikan menjadi personal use (penggunaan pribadi) dan non-personal use. Barang personal use akan mendapatkan pembebasan bea masuk dan atau cukai dengan besaran free on board (FOB) sebesar 500 dolar AS atau sekitar Rp7,6 juta per penumpang.

Beberapa waktu lalu bisnis jastip memang sempat heboh lantaran disebut-sebut merugikan negara. Hal ini muncul lantaran banyak pelaku jastip yang tidak membayar pajak masuk barang.

Namun Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), mengungkapkan bisnis jastip ilegal, yang tidak membayar bea cukai masuk, berpotensi merugikan negara sekitar 17% dari harga barang. Oleh karenanya, penerapan pajak yang ketat dianggap sangat masuk akal.

"Jelas merugikan negara karena kehilangan potensi bea masuk, PPH dan PPN impor yang cukup besar. Apalagi beberapa produk jastip melalui pintu bandara menyalahi aturan maksimum harga barang USD500," katanya kepada DW Indonesia.

"Kehilangan pendapatan akan terus meningkat ketika praktik jastip dibiarkan. Kerugian lain adalah menurunkan pendapatan pelaku usaha lokal. Bagi importir resmi tentu jastip menjadi pesaing utama. Sementara bagi produsen barang lokal juga harus bersaing dengan barang jastip."

Jastip bukan hanya ada di Indonesia

Bhima tak menampik bahwa bisnis jastip ini memang sangat menguntungkan dan berkembang. Ia mengungkapkan bahwa sebenarnya selain di Indonesia, bisnis jastip sudah cukup populer di berbagai negara terutama Asia Tenggara baik Vietnam, Malaysia dan Filipina. Bisnis jastip khususnya barang branded seperti tas, pakaian jadi, sepatu, perhiasan, dan aksesoris bahkan bisa jadi bisnis utama, bukan sampingan.

"Bahkan sebagian menjadi usaha utama karena keuntungan menjadi jastip menutup biaya perjalanan perorangan ke luar negeri. Ini bisnis yang sangat prospektif."

"Tren jastip bergantung dari proses pengawasan pada barang bawaan terutama bagasi penumpang pesawat. Di negara yang ketat screening di pintu kedatangan bandara akan mempersulit pengembangan bisnis jastip."

Jadi bagaimana memulai bisnis jastip yang benar?

Bhima mengungkapkan calon penjual jasa harus paham soal tren barang yang disukai peminat jastip. Punya informasi atau jaringan toko potensial di luar negeri dengan harga khusus dan barang langka juga akan menjadi nilai tambah tersendiri.

"Harus responsif dalam komunikasi dengan konsumen, menerima moda pembayaran yang beragam (cash, e-wallet, qris, transfer bank dan lainnya). Selain itu juga menggandeng komunitas yang sering melakukan perjalanan luar negeri sebagai agen jastip."

"Sebaiknya tetap patuh pada batas maksimum nilai barang 500 dolar AS. Atau melakukan deklarasi bahwa barang bawaan merupakan barang yang akan dijual kembali. Asalkan declare dan bayar bea masuk di bandara sebenarnya tidak masalah."

"Keuntungan dari jastip ini juga harus dilaporkan karena bagian dari obyek PPH," ujarnya. (ae)

C. Andhika S. Detail, humanis, dan tidak ambigu menjadi pedoman saya dalam membuat artikel yang berkualitas.