1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pemilu 2021 dan Peran Media di Jerman

Hendra Pasuhuk
29 September 2021

Bagaimana peran media dalam pemilu di Jerman? Editor DW Hendra Pasuhuk berbicara dengan jurnalis senior Jerman Karl Mertes untuk menanggapi hasil pemilu dan perkembangan politik secara umum.

https://p.dw.com/p/412KW
Deutschland Journalist Karl Mertes
Jurnalis senior dan Ketua Yayasan Indonesia Jerman (DIG) di Köln, Karl MertesFoto: Hendra Pasuhuk/DW

DW: Bagaimana Anda melihat hasil pemilu parlemen yang baru saja berlangsung baru-baru ini

Karl Mertes: Pertama-tama, bagi saya hasil pemilu ini tidak menunjukkan secara jelas adanya aspirasi untuk perubahan besar-besaran. Memang SPD menang, tapi hanya tipis saja. Sedangkan dua partai kecil lainnya justru memenangkan suara pemilih muda, yaitu Partai Hijau dan FDP. Yang jelas, CDU menderita kekalahan besar dan kehilangan banyak suara. Tampaknya karena pemilih tidak yakin pada kandidat utama dan program politik yang mereka usung. Tapi SPD juga hanya memenangkan sekitar 25 persen suara. Jadi sekarang semua tergantung pada Partai Hijau dan Demokrat Liberal FDP. Mereka yang akan menentukan, siapa yang akan menggantikan Angela Merkel.

Popularitas Partai Hijau beberapa bulan lalu dalam jajak pendapat bahkan pernah melejit dan menjadi partai favorit pemilih, sehingga sempat dipoerkirakan akan muncul sebagai portai terkuat mengalahkan CDU dan SPD. Tapi dalam beberapa bulan saja, mereka kehilangan dukungan dan akhirnya mendarat di posisi ketiga. Apa yang terjadi?

Menurut saya, apa yang terjadi dalam kampanye dan pemberitaan tentang kampanye adalah penyempitan fokus yang ditujukan kepada pribadi para kandidat. Dan para kandidat juga tidak punya kharisma yang terlalu kuat dan menonjol. Tidak ada slogan atau motto mereka yang membakar semangat pemilih. Jadi pemilih menganggap para kandidat itu sama saja, tidak jauh berbeda. Padahal Kalau kita ikuti program politik mereka, parpol-parpol itu jelas punya perbedaan. Hanya saja publik dan media terlalu fokus pada sosok kandidatnya, bukan pada program politiknya. Menurut saya, kecenderungan ini juga diarahkan oleh pemberitaan media, yang hanya membesar-besarkan isu pribadi para kandidat, dan bukan program politik partainya. Jadi, media bisa dikatakan turut memanipulasi isu kampanye sehingga mengarah kepada pribadi kandidatnya. Padahal bukannya tidak ada isu politik yang penting dan menjadi perhatian publik. Baru-baru ini misalnya, gerakan Friday for Future menggelar aksi besar di Jerman yang diikuti puluhan ribu remaja dan anak muda yang menuntut perlindungan iklim. Jadi, ada isu-isu besar yang menjadi perhatian dan kepentingan publik, tetapi media hanya menyuguhkan kontroversi soal kesalahan-kesalahan pribadi dan pencitraan para kandidat, misalnya dengan kandidat Partai Hijau, Annalena Baerbock, yang diterpa isu plagiarisme dan keterangan tidak lengkap dalam biografinya yang tertulis di internet.

Kelihatannya masa-masa parlemen Jerman dikuasai oleh dua partai besar, CDU dan SPD, sudah berakhir. Untuk waktu lama, hanya ada tiga partai di parlemen Jerman. Sedangkan sekarang ada tujuh partai. Apakah budaya politik di Jerman sedang berubah drastis?

Ya. Apa yang dulu kita sebut "Partai Rakyat", yaitu dua partai besar CDU dan SPD, yang masing-masing bisa memenangkan 30 bahkan 40 persen suara dalam pemilu, peran mereka sekarang  makin kecil, apalagi hanya sedikit sekali pemilih muda yang memilih mereka. Jadi sekarang muncul partai-partai lain yang masuk parlemen dan makin kuat. Bagi saya, itu adalah cerminan perubahan dalam masyarakat, dan itu tidak otomatis berarti buruk atau bermasalah. Justru dengan makin banyaknya parpol di parlemen, para aktor politik dipaksa berkompromi dan saling mendengar argumen-argumen lawan politiknya. Jadi ini perkembangan yang positif. Walaupun harus saya katakan, bahwa partai AfD...

Ini partai terbaru di Jerman yang menggunakan sentimen anti orang asing dan mengambil posisi yang bisa disebut ultra kanan..

.... bahwa mereka bisa mendapat lebih 10 persen suara, ini sangat memprihatinkan, ya bahkan menakutkan. Memang ada kenyataan yang menghibur, yaitu bahwa hampir 90 persen pemilih Jerman tidak memberikan suara untuk mereka. Tapi 10 persen pun, bagi saya sudah terlalu banyak. Dan di antara pendukungnya banyak orang terdidik, dengan gelar doktor atau profesor, tetapi pernyataan-pernyataan mereka, apa yang mereka katakan, kadang sungguh sulit diikuti dengan akal sehat.

Hasil perhitungan sementara Pemilu Jerman 2021
Hasil perhitungan sementara Pemilu Jerman 2021

Bagaimana dengan peran media, terutama sekarang dengan adanya fenomena media sosial yang menyebarkan begitu banyak berita-berita palsu dengan begitu cepat. Memang di Jerman, yang tgerpengaruh berita palsu tidak sebanyak di AS, tapi tetap ada pengaruhnya. Berapa besar pengaruh teknologi digital dan platform-platform baru ini di panggung politik Jerman?

Tidak diragukan lagi, pengaruhnya cukup besar, tapi itu juga cerminan dari perkembangan yang salah yang yang terjadi pada masyarakatnya. Perkembangan dari apa yang disebut "media sosial", apapun alasannya sehingga dinamakan begitu, adalah sesuatu yang sangat jauh dari harapan awal, ketika teknologi ini muncul. Dulu orang merayakan teknologi komunikasi sebagai instrumen kebebasan, di mana setiap orang bisa menyuarakan pendapatnya, dan setiap orang bebas menerima informasi apa pun. Ternyata perkembangannya bergerak ke arah lain. Di Jerman misalnya, yang terjadi justru konsentrasi media yang dimotori perusahaan-perusahaan komersil, dan mereka secara agresif merebut pasar media-media publik…

Yang di Eropa punya tradisi panjang..

Pada awalnya, setelah perang berakhir dan demokrasi mulai dibangun di Jerman (Barat), ada kesepahaman di kalangan politik dan pelaku media, bahwa media dan pers tidak boleh berkembang hanya menjadi sekedar barang dagangan. Munculnya media elektronik misalnya, diharapkan berkontribusi juga pada pendidikan publik, dan tidak hanya berorientasi pada komersialisasi. Karena itulah dibangun lembaga-lembaga siaran publik, yang harus bebas dari kepentingan politik sesaat atau kepentingan komersial kelompok-kelompok tertentu saja. Tapi gagasan dan model-model ini sekarang makin lama makin terdesak. Sehingga apa yang disebut kebebasan berpendapat dan opini publik, sekarang lebih ditentukan oleh kepentingan komersial. Kalau ada orang misalnya membuat sejenis minuman sirup, lalu bisa membayar jutaan untuk iklan di media sosial, maka dia nantinya bisa menggiring opini tentang minuman apa yang dibutuhkan oleh publik. Bagi saya, yang masih berasal dari generasi dengan tradisi siaran publik yang kuat, perkembangan itu sangat memprihatinkan. Bayangkan, siapa yang mampu membayar, dialah yang akan mengarahkan opini publik. Dan kalau opini publik bisa dibeli dan diarahkan seperti itu, nantinya hanya orang yang punya uang saja yang akan mendominasi pendapat publik.

Mengapa perkembangannya bisa begitu?

Menurut saya, ini adalah masalah pendidikan publik, termasuk pendidikan kompetensi media. Jadi tentang apa peran dan pentingnya siaran publik sebagai bagian dari pendidikan politik. Hal-hal itu makin lama makin diabaikan. Misalnya isu lingkungan, itu bukan isu baru. Lebih 30 tahun lalu sudah ada apa yang dinamakan Konferensi Rio. Tapi tidak berkembang dan tidak bisa mengubah kebijakan politik menjadi lebih ramah lingkungan. Jadi kekhawatiran gerakan Fridays for Future, itu bukan kekhawatiran baru, itu sudah ada puluhan tahun lalu. Tetapi para penentu kebijakan lama sekali mengabaikan isu itu, yang sekarang menyebabkan krisis besar.

Kembali ke tema pemilu Jerman. Kandidat yang sekarang punya peluang paling besar untuk menggantikan Angela Merkel adalah Olaf Scholz dari Sosial Demokrat SPD. Padahal, beberapa bulan lalu, hampir tidak ada yang mengharapkan dia masih punya peluang, karena popularits dia dan partai SPD tertinggal jauh di belakang. Apa yang sebenarnya terjadi dalam beberapa bulan terakhir, sehingga SPD dan Olaf Scholz akhirnya menang?

Turunnya popularitas SPD dalam 3-4 tahun terakhir, menurut saya, dipicu oleh sengketa di dalam tubuh partai itu sendiri. Misalnya penggantian ketua yang sering terjadi, dan terakhir kali dipilih dua orang menjadi Ketua SPD, yang berasal kubu sayap kiri di SPD. Hal itu membuat banyak orang akhirnya meninggalkan SPD. Termasuk dari kelompok basis utamanya, yaitu kaum buruh dan pekerja, yang telah kehilangan kepercayaan bahwa SPD masih membela kepentingan mereka. Jadi, ikatan yang selama puluhan tahun terjalin antara partai dan basis pendukungnya sudah terkikis. Olaf Scholz sendiri, ketika mencalonkan diri untuk menjadi Ketua Umum SPD, kalah oleh tokoh-tokoh sayap kiri. Ketika SPD makin terpuruk, mereka akhirnya memilih Olaf Scholz sebagai kandidat utama dalam pemilu 2021. Itu sebenarnya adalah upaya untuk mengoreksi kesalahan, karena mereka tahu bahwa dengan bergeser jauh ke kiri mereka telah kehilangan banyak dukungan. Bagi banyak pemilih masa kini, slogan-slogan kiri tidak menarik lagi. Olaf Scholz, sebagai sosok politisi yang tenang dan tidak senang dengan perubahan-perubahan radikal, akhirnya mampu menarik kembali pemilih yang dulu berpaling dari SPD. Karena publik sekarang ingin sosok yang mereka anggap bisa menjamin stabilitas, dan Olaf Sholz mewakili citra itu. Kata peribahasa lama: dia pasti bisa menjadi penjual mobil bekas yang berhasil. Karena sosoknya kalem dan meyakinkan.