1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Gugatan Hasil Pilpres 2019 Bergantung Pada Paradigma MK

Rizki Akbar Putra
28 Mei 2019

Bagaimana peluang Prabowo-Sandi memenangkan gugatan hasi Pilpres 2019 di MK? Simak wawancara DW Indonesia dengan pakar Hukum Tata Negara Refly Harun.

https://p.dw.com/p/3JGoH
Indonesischer Präsidentschaftskandidat Prabowo Subianto
Foto: picture-alliance/AA/E. S. Toyudho

Tim BPN Prabowo-Sandi resmi layangkan gugatan hasil Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK) hari Jumat (24/05) lalu. Sidang perdana dijadwalkan akan digelar 14 Juni mendatang. Bagaimana peluang kemenangan gugatan tersebut? DW Indonesia berkesempatan berbincang dengan pakar Hukum Tata Negara Refly Harun.

DW: Menurut Anda, bagaimana peluang Prabowo-Sandi dalam memenangkan gugatannya terkait hasil pilpres 2019 di Mahkamah Kostitusi?

Refly Harun: Ya kalau paradigma MK masih yang lama saya kira berat peluangnya, kalau MK hanya berpatokan kepada hitung-hitungan suara atau kalau pun ada aspek kualitatifnya selalu dikaitkan dengan aspek-aspek kualitatif yang mempengaruhi perolehan suara. Jadi bukan bagaimana menegakkan pemilu yang jujur dan adil. Karena itu dua hal yang berbeda. Kalau pemilu yang jujur dan adil asal ada kecurangan yang terbukti dan itu sah dan meyakinkan dilakukan oleh pasang calon dan itu termasuk sebuah pelanggaran berat karena membuat pemilu tidak jujur dan adil maka itu peluangnya besar, kalau paradigmanya seperti itu. Kalau paradigmanya masih, kalau pun kecurangannya terbukti tetapi dianggap tidak signifikan mempengaruhi hasil pemilu ya peluangnya berat. Karena dalam konteks pilkada misalnya, MK itu ada orang bagi-bagi uang saja dan itu nyata karena ada rekaman videonya misalnya, itu saja tidak didiskualifikasi. Tergantung paradigma hakim MK-nya.

Indonesien Refly Harun Staatlicher Experte für Verwaltungsrecht
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun.Foto: privat

Mengacu kepada paradigma MK yang lama, Kalaupun Prabowo-Sandi bisa membuktikan adanya kecurangan, tetap tidak akan membalikkan keadaan?

Kita lihat bahwa yang dipermasalahkan itu kan dua aspek. Aspek kuantitatif dan aspek kualitatif. Yang paling mudah sebenarnya membuktikan aspek kuantitatif, kalau seandainya buktinya ada atau kuat. Perbedaan suaranya hampir 17 juta, kalau misalnya ada dalil mengenai penggelembungan suara minimal 8,5 juta pihak lawan atau pengurangan pihak 02 8,5 juta kan signifikan mempengaruhi hasil jika dikabulkan. Nah cuma untuk aspek kuantitatif ini berat untuk membuktikannya karena hampir tidak ada complain perhitungan suara. Satu-satunya complain yang agak besar angkanya yaitu complain soal DPT. Ada DPT yang tidak wajar sejumlah 17,5 juta, kan katanya begitu. Tapi pengalaman saya selama ini berat kalau cuma complain begitu, karena tidak langsung suara, lebih pada aspek kualitatif yang diargumentasikan di awal.

Apa saja aspek kualitatifnya?

Ada lima hal. Satu mengenai penggunaan dana APBD atau program pemerintah untuk memenangkan paslon 01. Yang kedua ketidaknetralan aparat dalam hal ini polisi dan intelijen, yang ketiga penyalahgunaan birokrasi dan BUMN, yang keempat masalah-masalah media mengenai larangan-larangan program tertentu, yang kelima penyalahgunaan atau diskriminasi penegakan hukum. Nah katakanlah lima hal ini terbukti semua misalnya, artinya ada pekerjaan besar untuk membuktikan klaim lima hal ini. Maka kemudian pertanyaan selanjutnya, sejauh mana degree-nya, magnitude-nya? Untuk dikatakan bahwa ini adalah sebuah pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis dan massif. Kalau memang bisa dibuktikan dengan ada terstruktur, sistematis dan massif, ya pasti permohonan akan dikabulkan. Tetapi kalau misalnya hanya terbukti yang serpihan-serpihan saja yang tidak ada kaitan langsungnya dengan paslon atau tim kampanye nasionalnya ya agak berat kalau kita kaitkan dengan paradigma MK selama ini yang selalu meminta kaitan. Kalaupun itu kualitatif antara pelanggaran-pelanggaran atau kecurangan-kecurangan yang didalilkan dengan pengaruhnya secara signifikan dalam perolehan suara. Kadang-kadang MK mengatakan money politic saja tidak dianggap langsung berpengaruh kepada perolehan suara karena kita tidak ada metode memverifikasi untuk memastikan kalau money politic itu orang langsung memilih. Atau money politic itu sampai di struktur atas. Jadi sisi itu berdasarkan pengalaman ini berat, kecuali MK merubah paradigmanya tadi sebagai the guardian of the constitution mereka tidak mentolerir pelanggaran-pelanggaran yang bisa merusak pemilu yang jurdil. Misalnya satu saja kasus tentang penggunaan dana APBN seperti yang didalilkan, ternyata terbukti memang ada dana APBN yang digunakan untuk memenangkan 01 tentu setelah proses pembuktian yang sah dan meyakinkan, mungkin kita membicarakan derajat pembuktian, ketika secara sah dan meyakinkan, hakim meyakinkan memang dana APBN itu digerakkan untuk kemenangan 01 maka hakim tidak lagi bicara kaitan dengan hasil pemilu. Karena susah dibuktikan, money politic saja susah dibuktikan kaitan langsungnya apalagi indirect, ini kan indirect. Tapi MK berparadigma, saya baru berbicara misal loh, ini tidak bisa dibenarkan walaupun tidak bisa dibuktikan kaitan langsungnya dengan suara tapi ini sudah mengganggu playing field, equal playing field dalam pemilu karena pemilu jadi tidak jujur dan tidak adil. Karena satu pakai dana APBN yang merupakan dana negara, dana rakyat, satunya harus fundraising sendiri. Jadi kalau itu yang menjadi paradigma hakim MK, peluangnya ada tergantung derajat pembuktian.

Ramai diberitakan BPN menggunakan tautan berita sebagai alat bukti. Menurut Anda, bukti-bukti seperti apa yang harus dipersiapkan tim Prabowo-Sandi?

Kalau kita bicara bukti, sidang di MK itu untuk permohonan kadang-kadang pihak itu hanya menyampikan bukti awal saja dulu untuk mengejar tenggat waktu permohonan yang tiga hari. Kadang-kadang kalau saya bersidang dalam konteks pilkada tentunya kadang-kadang itu baru menyampaikan dua hal saja yaitu KTP dan kemudian rekapitulasi KPU atau KPUD dalam konteks pilkada. Nanti bukti-bukti itu dapat disusulkan di dalam proses persidangan terutama setelah waktu pengesahan alat bukti. Atau misalnya perbaikan permohonan. Tapi saya bisa mengatakan kalau link berita tidak bisa dijadikan bukti yang berdiri sendiri. Link berita itu harus didukung bukti-bukti lainnya yang menguatkan memang benar terjadinya peristiwa itu. Misalnya saksi, kemudian ahli, kemudian surat, rekaman elektronik, dan sebagainya.

Menurut Anda kuatkah materi gugatan yang diajukan tim Prabowo Sandi?

Ya kuat atau tidak nanti tergantung alat bukti lainnya. Tapi kalau hanya bertindak sebagai Mahkamah Kalkulator menyidangkan hitung-hitungan ya sudah pasti ketolak di awal karena pihak BPN tidak bisa menunjukkan adanya kesalah penghitungan dan suara versi yang benar menurut mereka kalau misalnya kembali lagi ke Mahkamah Kalkulator. Tapi kalau kembali ke pendekatan substansi progresif seperti yang dilakukan Pak Mahfud sejak 2008 bahwa tidak hanya mengadili selisih penghitungan suara tapi juga hal-hal substansif yang bisa mengganggu terhadap perolehan suara maka permohonan ini bisa diteruskan lebih lanjut dengan membawa alat bukti yang signifikan. Apalagi kalau paradigma hakim MK bergerak kepada yang jauh substantif, yaitu tugas mereka sebagai the guardian of the constitution yaitu menjaga konstitusi, konstitusi yang harus dijaga itu yaitu pemilu yang jujur dan adil. Mereka harus bisa definisikan pemilu yang jujur dan adil. Kalau kita bicara jujur dan adi salah satunya equal playing field, lapangan permainan yang setara. Kalau misanya ada keterlibatan Polri misalnya, ada penggunaan dana, ada larangan-larangan media bisa saja ditafsirkan adanya unequal playing field yang membuat pemilu tidak jujur dan tidak adil. Ini paradigma baru. Saya berikan tiga prespektif, satu perspektif hitung-hitungna saja, kalau persepktif hitung-hitungan saja sudah permohonan ini tidak akan diproses lebih lanjut. Kedua perspektif TSN, permohonan ini bisa dilanjutkan tapi memang proses pembuktiannya berat karena harus melibatkan banyak hal sementara waktunya hanya 14 hari kerja. Ketiga paradigma substantif yaitu peran MK sebagai the guardian of the constitution salah satunya menjaga pemilu yang jurdil. Kalau bergerak kepada paradigma yang ketiga jauh lebih gampang tinggal dibuktikan saja. Saya terlepas no matters siapa pun yang menang 01 atau 02 jangan dikira bahwa 01 nanti tidak counter attack. Bisa saja mereka juga mendalilkan bahwa yang curang adalah 02. Jadi mereka bisa counter attack, sama-sama membuktikan bahwa yang curang 02. Tapi memang agak riskan juga, kenapa? Bisa-bisanya nanti dua-duanya didiskualifikasi.

Sidang perdana akan digelar pada 14 Juni mendatang. Apa yang harus dipersiapkan oleh kedua belah pihak?

Menurut saya kedua belah pihak dan fans-fans club nya ini harus menahan diri dan kemudian jangan saling mengkriminalisasi atau saling mengancam misalnya lawyer ini dikatakan begini-begini. Saya prihatin ketika Bambng Widjojanto, Denny Indrayana, Nasrullah itu diungkap-ungkap dan diungkit-ungkit. Menurut saya kita harus fair saja, kita harus membedakan antara lawyernya dan kemudian permohonan. Konsentrasi kita pada permohonannya. Kalau begini kan jadi tidak adil. Karena itu pasangan 02 harus bisa membawa bukti-bukti yang lebih kicking, yang lebih menggigit tentunya untuk menopang bukti-bukti yang sudah diajukan sehingga dia bisa membuktikan lima klaim kecurangan yang secara kualitatif tadi dan kemudian jika ada kuantitatif mengenai data yang kuat tentang 17,5 juta DPT tidak wajar tersebut juga untuk memperkuat dalil yang sudah diajukan. Sementara pihak KPU ada beberapa bagian yang sebenarnya harus dijawab KPU dengan wajib. Ada bagian-bagian lain yang bukan KPU menjawabnya. KPU tidak berwenang menjawab tuduhan kecurangan yang langsung diajukan ke pasangan calon 01. KPU tidak boleh terlalu bersemangat menjadi lawyernya 01. Dia harus menjawab porsinya dia saja, misalnya soal DPT tidak wajar itu kan porsinya dia. Tapi kalau tentang penggunaan dana APBN kan bukan porsinya dia, netralitas bukan porsinya dia. Jadi klaim yang lima tadi, kualitatif, hampir tidak ada porsinya KPU. Kalau saya jadi KPU saya nganggur, apa yang mau saya buktikan, Anda kan tidak mempermasalahkan kami, Anda mempermasalahkan pasangan 01. Kalau pun ada ya tentang DPT dan situng. rap/yp

Wawancara dilakukan oleh Jurnalis Deutsche Welle Rizki Akbar Putra.

Refly Harun adalah seorang pakar hukum tata negara sekaligus pengamat politik Indonesia. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ini pernah menjadi Ketua Tim Anti Mafia Mahkamah Konstitusi atas penunjukkan Ketua MK saat itu, Mahfud MD.