1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiJerman

Impor Bahan Baku Vital, Jerman Rentan Diperas?

Dirk Kaufmann
14 Maret 2024

Meski berstatus perekonomian terbesar di Eropa, Jerman menjadi pesakitan lantaran besarnya kebergantungan terhadap Rusia dan Cina untuk suplai bahan baku vital. Tanpa diversifikasi, Jerman rentan alami pemerasan.

https://p.dw.com/p/4dTSd
Pabrik baterai Volkswagen
Produksi baterai mobil di pabrik Volkswagen di Salzgitter, JermanFoto: Julian Stratenschulte/dpa/picture alliance

Bahan baku vital yang diimpor Jerman mencakup tembaga, litium, dan logam tanah jarang, seperti skandium, cerium, prometium, terbium, dan thulium serta 12 unsur lainnya. Terlepas dari namanya, jenis mineral ini tidak terlalu langka di perut Bumi. Thulium, yang termasuk paling langka, misalnya masih lebih mudah ditemukan ketimbang emas.

Namun saja, logam tanah jarang biasanya mengendap dalam jumlah kecil yang membuat penambangan menjadi tidak ekonomis.

Menurut sebuah studi, yang diterbitkan minggu lalu oleh perusahaan konsultan IW Consult dan lembaga penelitian Fraunhofer ISI, arus impor komoditas vital bersifat krusial bagi penciptaan nilai dan lapangan kerja. Peneliti mencermati bahan baku mineral seperti tembaga, litium, dan logam tanah jarang karena penting untuk pengembangan teknologi masa depan.

Pemasok berpengaruh besar

Menurut penelitian, hampir sepertiga nilai produksi di sektor manufaktur dihasilkan dengan mengolah tembaga. Sepersepuluh nilai mengandalkan litium dan 22 persen dari logam tanah jarang. Sektor yang sangat bergantung pada suplai bahan baku ini adalah industri otomotif, elektronik, dan optik.

Ketergantungan terhadap impor terasa rentan karena pasar dunia yang didominasi segelintir pemasok. Deposit terbesar logam tanah jarang saat ini terdapat di Cina. Adapun cadangan  di Greenland, Kanada, dan Swedia belum diteliti secara menyeluruh sehingga kapasitasnya tidak terprediksi.

Cegah Ketergantungan, Ilmuwan Cari Logam Tanah Jarang di Eropa

Kerawanan ini berlaku untuk hampir sepertiga impor litium Jerman dan 19 persen impor tembaga serta logam tanah jarang.

Terkait suplai litium dan logam tanah jarang, tiga pemasok terbesar saat ini memiliki pangsa pasar lebih dari 80 persen. Jerman, misalnya, masih mengandalkan Rusia untuk impor tembaga dan Chile untuk litium karbonat, yang 72 persennya berasal dari sana. Sementara pasar logam tanah jarang masih akan didominasi Cina untuk jangka waktu yang lama, yang memasok 84 persen impor Jerman.

Lebih parah dari ketergantungan gas Rusia

Matthias Wachter, serang petinggi federasi industri, BDI, menilai betapa "kebergantungan Jerman pada komoditas non-energi dari Cina sudah lebih besar dibandingkan pada gas dari Rusia," kata dia kepada DW.

Impor produk pertambangan, pengilangan, dan perdagangan, misalnya, dianggap memiliki "tingkat risiko tertinggi, bukan karena ketersediaan bahan baku, tapi tingginya kapasitas eksplorasi dan pengolahan di Cina. "Artinya, bahan baku ini rentan dijadikan alat pemerasan," imbuhnya.

Cornelius Bähr, konsultan senior di Institute of German Economics di Köln, mewanti-wanti terhadap komoditas yang akan dicari, "misalnya litium untuk proksi baterai." Dia membenarkan Waechter, ketika mengakui bahwa "risiko lainnya adalah jika negara-negara produsen secara bersamaan menerapkan embargo, seperti pada galium, germanium, atau grafit, yang sebagian besar diimpor dari Cina."

Keunggulan Unik Hidrogen Dibanding Baterai

Untungnya, saat ini pembatalan pengiriman oleh Cina "belum berada dalam level kritis." Tapi menurutnya, Cina bukan merupakan "rantai suplai yang bisa diandalkan." Menurut Bähr, "perselisihan dagang antara Cina dan Amerika Serikat atau juga Cina dan Uni Eropa, bisa menghasilkan pembatasan eskpor atau setidaknya ancaman ditutupnya keran ekspor."

Apa solusinya?

"Keamanan pasokan bahan mentah memerlukan pertimbangan seluruh rantai suplai mulai dari pertambangan hingga pengolahan.” Kesimpulan ini dicapai oleh Fritzi Köhler-Geib, Kepala Ekonom di KfW, bank milik pemerintah federal yang menugaskan IW Consult dan Fraunhofer Institut melakukan kajiannya. "Pasokan bahan mentah yang berkelanjutan pada awalnya memerlukan biaya, tetapi pada akhirnya hal ini merupakan prasyarat untuk membentuk transformasi ramah lingkungan dan digital.”

"Kita tidak boleh membohongi diri sendiri. Upaya mengurangi ketergantungan dan membangun ketahanan tidak bisa dilakukan dalam sekejap,” kata Matthias Wachter dari BDI. Yang penting adalah "diversifikasi dan pengembangan kapasitas baru. Memperkuat produksi dalam negeri adalah bagian dari solusinya. Karena berbeda dengan kepercayaan umum, Jerman sangat kaya akan banyak bahan mentah."

Cornelius Bahr memperingatkan, pemerintah harus mengambil tindakan "mendiversifikasi negara penyuplai, mengganti bahan mentah krusial, menambang sumber dayanya sendiri, dan menambah kapasitas daur ulang. Syaratnya adalah kondisi produksi yang memadai, misalnya biaya energi, dan penerimaan masyarakat."

(rzn/as)