1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pandangan Masyarakat AS tentang Perang Irak Terpecah

18 Maret 2008

Kamis (20/03) adalah peringatan lima tahun dimulainya perang Irak. Harapan akan operasi militer yang singkat, dengan kerugian relatif kecil namun berhasil, sirna dengan cepat.

https://p.dw.com/p/DQm1
Demonstrasi anti Perang Irak di WashingtonFoto: AP
Lima tahun perang Irak telah mengubah Amerika Serikat. Peneliti opini publik secara permanen mengukur pandangan masyarakat. Salah satunya Karlyn Bowman. Ia bekerja pada American Enterprise Institute yang berhaluan konservatif di Washington. "Orang Amerika saat ini dalam suasana buruk dan itu terutama karena perang Irak. Ditambah lagi lemahnya situasi ekonomi saat ini. Situasi buruk artinya, orang-orang menilai dengan sangat kritis apa yang dilakukan presiden dan kongres. Mereka melihat, situasi di Irak sekarang memang lebih baik, tapi tetap saja perang Irak merupakan suatu kesalahan." Karlyn Bowman membuat dua pembatasan. Kebanyakan rakyat Amerika masih memandang masa depan mereka seoptimis sebelumnya. Dan, berbeda dengan masa perang Vietnam, tentara AS sekarang memiliki reputasi tinggi di semua lapisan sosial masyarakat. Psikolog Tom Pyszczynski dari Universitas Colorado meneliti sikap manusia dalam situasi krisis dan perang. Hasil penelitiannya menunjukkan, pada tahun ke-5 perang Irak, rakyat Amerika sangat terpecah belah. "Banyak yang merasa bersalah, malu akan perang Irak. Merasa bahwa perang itu tidak benar, bahwa rakyat mendapat informasi yang salah, dan dibiarkan larut dalam kebingungan. Lainnya berargumen, tidak jadi soal apakah Saddam memang bersalah karena membahayakan kita atau tidak. Karena kita mengirim perang ke Irak, maka kita bisa menumpas teroris di sana, tidak di sini, di Amerika. Ini juga selalu diulang Presiden Bush. Saya pikir itu konyol dan arogan dan melupkan dampak apa yang diakibatkan oleh perang terhadap kelompok seperti Al Qaida." Dan tentu saja, kata sang psikolog, pandangan setiap individu di AS terhadap perang Irak berbeda-beda. Sebuah jajak pendapat di Washington menunjukkan: "Beban perang ini ditanggung oleh hanya sedikit orang. Yaitu keluarga setiap tentara yang betul-betul berperang di sana. Lainnya, kami, mayoritas sisanya, tidak dituntut mengorbankan sesuatu, tidak secara personal, tidak juga finansial." "Satu hal yang berubah dalam diri saya adalah, saya berduka terhadap tentara kita di sana, yang berperang untuk negara kita, jadi cacat atau kehilangan nyawa. Menurut saya itu nggak benar." Lain lagi pendapat Afsal Khan, warga Amerika asal Pakistan. Ia pakar masalah keamanan dan sampai beberapa bulan silam bertugas di Irak. Ia mengamati dan mengalami hidup dengan kelompok masyarakat Amerika lainnya, yaitu 150 ribu lebih tentara AS di Irak. "Kebanyakan tentara ini masih muda, remaja, baru saja tamat sekolah menengah atas. Mereka bahkan tak tahu perbedaan antara Iran dan Irak. Mereka bergabung dengan militer agar bisa mendapat kesempatan ke universitas. Mereka tak tahu menahu mengapa ada di Irak dan perangnya melawan siapa." Sementara itu, keresahan umum terhadap perang, terhadap haluan anti teror Presiden Bush, diformulasikan dalam puluhan buku, film Holywood dan lagu-lagu yang juga menjadi hits, seperti Green Day dengan Wake Me Up When September Ends dari albumnya American Idiot. Dan peneliti media menemukan semacam rasa letih akan perang. Dulu diyakini, selama bertahun-tahun perang Irak akan mendominasi halaman-halaman depan surat kabat dan berita-berita utama. Keyakinan itu tidak tepat lagi. Perang Irak disingkirkan, dari kampanye pemilihan presiden dan dari kalangan perekonomian. Peneliti opini publik Karlyn Bowman mengatakan: "Penambahan tentara memperbolehkan kita rakyat Amerika sedikit menarik nafas. Orang boleh berganti tema pembicaraan, karena situasi sepertinya sedikit lebih baik, setelah sangat buruk untuk waktu yang panjang." (rp)