1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Debat Publik Clinton dan Obama

22 Februari 2008

Berbeda dengan debat publik sebelumnya, yang mirip iklan kebersamaan dan pekat kata-kata rekonsiliasi, debat televisi kedua kandidat Presiden partai Demokrat mendekati kenyataan situasi kampanye saat ini.

https://p.dw.com/p/DBpj
Barack Obama dan Hillary Rodham Clinton dalam debat publik di TexasFoto: AP

Barack Obama, favorit kubu demokrat yang telah menang di sebelas negara bagian Amerika Serikat membukanya dengan manis. "Ini merupakan kehormatan besar bagi saya untuk berdiri di sini dengan Senator Clinton. Kami berteman sebelum pemilihan ini dan juga sesudah ini."

Kenyataannnya, posisi Hillary Clinton amat kritis, dukungan untuk senator dari New York ini semakin tipis. Pemilihan mendatang di Texas pada 4 Maret merupakan harapan terakhir untuk bisa merebut pencalonan kandidat presiden dari Partai Demokrat. Karenanya dalam debat TV di Texas ini, ia perlu mengumpulkan sejumlah poin dan menyorot kemampuannya.

Clinton menggaungkan seruan kampanyenya, bahwa ia lebih berpengalaman. Sambil begitu, meniupkan serangan ke Obama yang terkenal kuat dalam retorika. Ia ungkapkan, “Kata-kata memang penting, tapi tindakan jauh lebih kuat daripada kata-kata."

Pukulan berikutpun langsung menyusul. Ia ingatkan, “Menjiplak bagian tulisan orang lain itu bukanlah perubahan yang bisa dipercaya, melainkan perubahan yang bisa di Xerox.”

“Perubahan yang bisa dipercaya” merupakan seruan kampanye Obama. Tapi Obama yang pernah mengaku, menulis pidatonya berdasarkan pidato-pidato lain yang terbukti sukses, tampaknya hanya perlu melengos sedikit untuk menjawab serangan itu. Ia menerangkan, telah mendapat persetujuan pemilik teks aslinya.

“Kita bisa bicara mengenai tema, tapi tidak perlu melakukan permainan seperti ini”, imbaunya.

Tak banyak perbedaan posisi di antara kedua kandidat ini. Meskipun nyata jelas bahwa Obama menghindar dari pembicaraan yang berbasis hukum. Perundangan dan hukum merupakan kekuatan Hillary Clinton. Sementara, kekuatan Barack Obama terdapat di hubungan kemanusiaannya.

Dalam isu-isu nasional, keduanya akan memerangi out-sourcing dengan menghapus peluang pajak. Keduanya juga ingin menarik pulang pasukan dari Irak. Clinton memajukan isu jaminan sosial, yang dalam rencana ekonomi Obama bakal terkikis. Dalam politik luar negeri, Obama memperlihatkan gaya yang lebih terbuka daripada Clinton yang menolak langsung menemui Raoul Castro dari Kuba dan Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad, tanpa ada pendekatan yang matang.

Obama juga mengaku salah perihal Pakistan dulu. Sebelumnya ia menilai, Amerika Serikat hanya perlu mendukung Presiden Pakistan Pervez Musharaf. Di pihak lain, kini ia menilai Amerika Serikat perlu bertindak langsung di Pakistan untuk menghancurkan kelompok teror Al Qaida.

Sedangkan dalam isu pengalaman, ia kembali mengangkat pengalamannya sebagai pengacara yang membela masyarakat tergusur.

Berbeda dengan Obama, Clinton melayangkan imajinasi hadirin dan penonton. Ia menjawab dengan sahaja, “Setiap orang di sini tahu, bahwa saya pernah mengalami beberapa krisis dalam kehidupan saya”.

Tak heran bila hampir seluruh pemberitaan mengenai debat ini langsung merujukan jawabannya, kepada sikapnya dalam skandal yang dialaminya sebagai ibu negara Amerika Serikat. Kesahajaan itu merebut hati publik, apalagi ketika ia mengakhiri debat dengan menggandeng tangan lawan debatnya dan mengaku merasa sangat terhormat karena bisa duduk bersama Barack Obama.

“Apapun yan terjadi, kami berdua akan baik-naik saja. Tapi saya harap, bahwa hal yang sama bisa dikatakan oleh rakyat Amerika. Inilah inti dari pemilihan ini.”

Publik merespon pernyataan Clinton dengan langsung berdiri dan menyuarakan tepuk tangan berkepanjangan. Namun apakah dengan debat ini, perempuan 60 tahun ini akan berhasil membendung bahkan membalikkan kuatnya gelombang perubahan Obamania di Amerika Serikat? Banyak pengamat mengatakan bahwa sudah terlalu lambat. (ek)