1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Amerika Serikat Buka Dokumen Rahasia Soeharto

Edith Koeosemawiria29 Januari 2008

Dokumen-dokumen yang selama ini diklasifikasikan rahasia itu memperlihatkan, pemerintah AS tidak pernah menekan Soeharto atas berbagai pelanggaran HAM yang terjadi selama pemerintahannya.

https://p.dw.com/p/CzDL
Foto: picture alliance/dpa

Kritik keras Amerika Serikat terhadap almarhum bekas presiden Soeharto hanya muncul tahun 1998, ketika Indonesia diguncang kerusuhan akibat krisis moneter.

Bill Clinton, yang ketika itu menjabat presiden Amerika Serikat, berkali-kali menelpon Jakarta, mendesak agar Soeharto memberlakukan penyesuaian ekonomi besar-besaran agar memenuhi ketentuan Dana Moneter Internasional, IMF. Itulah salah satu catatan dalam dokumen-dokumen yang baru dipublikasi oleh Arsip Keamanan Nasional atau The National Security Archives. Berlandaskan Undang-undang Kebebasan Informasi, lembaga non pemerintah yang terkait Universitas George Washington ini mengoleksi dan mempublikasi dokumen-dokumen yang sudah tak lagi dirahasiakan.

Dari puluhan ribu dokumen mengenai hubungan Amerika Serikat dengan Soeharto hingga tahun 1998, tak ada bukti bahwa presiden-presiden Amerika Serikat pernah menggunakan tekanan agar rejim Soeharto mengindahkan hak azasi manusia maupun demokratisasi. Begitu ungkap, Brad Simpson yang bertanggung jawab untuk proyek dokumentasi mengenai Indonesia dan Timor Leste di lembaga itu.

Diantara dokumen yang sudah bebas-baca itu terdapat transkripsi pertemuan dan pembicaraan antara Soeharto dengan sederetan bekas presiden dan petinggi Amerika Serikat, seperti Henry Kissinger. Surat dari bekas Menlu AS itu kepada Richard Nixon misalnya, menyatakan bahwa Amerika Serikat tidak memiliki masalah dengan Indonesia.

Tak lama kemudian, Nixon dan Kissinger menemui Soeharto pada 26 Mei 1970. Dalam catatan pembicaraan itu tertera tanya-jawab yang berlangsung. Di situ bekas Presiden Indonesia mengaku telah menahan puluhan ribu orang dan menumpas pendukung komunisme sampai hanya tertinggal 10 persen kekuatan sebelumnya.

Soeharto juga melaporkan telah melancarkan indoktrinasi paham Orde Baru kepada siswa dan mahasiswa Indonesia. Dalam jawabannya, bekas presiden Nixon mengatakan bahwa Soeharto merupakan pemimpin salah satu demokrasi yang terbesar di dunia.

Dokumen-dokumen ini juga merefleksi persepsi Amerika Serikat terhadap Soeharto, sejak awal kekuasaannya yang berdarah, bahkan ketika aneksasi Papua Barat di tahun 1969, invasi terhadap Timor Timur di tahun 1975 dan pembunuhan misterius atau petrus yang berlangsung dari 1983 hingga 1984.

Dalam masa kepresidenen Gerald Ford di Amerika Serikat, juga terdapat pernyataan Soeharto mengenai dekolonialisasi Timor Leste. Tercatat, Ford tidak memberi tanggapan ketika Soeharto mengatakan bahwa satu-satunya cara adalah untuk mengintegrasi wilayah itu ke Indonesia.

Rangkaian catatan serupa, bagai benang merah mengalir dalam dokumen-dokumen itu. Yang nampak jelas, Amerika Serikat memperhatikan Indonesia hanya dari segi keamanan dan ekonomi. (ek)