1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Polemik Larangan Berjilbab di Jerman

13 Maret 2009

Human Rights Watch di Berlin menyebut larangan berjilbab yang kini berlaku di delapan negara bagian Jerman sebagai bentuk diskriminasi terhadap hak perempuan Muslim.

https://p.dw.com/p/HBGg
Foto: Fotomontage/AP/DW

Sejak lima tahun terakhir, delapan dari 16 negara bagian di Jerman mengeluarkan undang-undang yang membatasi hak pemakaian jilbab bagi guru di sekolah dan di gedung-gedung pemerintahan. Dalih yang dikemukakan cukup beragam, diantaranya jilbab dianggap merupakan simbol politik yang melambangkan pengekangan terhadap hak perempuan. Selain itu jilbab juga sering dikait-kaitkan dengan simbol keagamaan dan dianggap dapat mengganggu netralitas atau ketidakberpihakan sebuah instansi pendidikan dalam urusan agama.

Namun buat sebagian kalangan, dalih tersebut masih dianggap kurang untuk mengeluarkan larangan umum berjilbab. Di antaranya adalah Organisasi Hak Azasi Manusia Human Right Watch (HRW). Dalam laporan yang dipublikasikan Kamis (05/03) di Berlin, Organisasi tersebut menyebut larangan berjilbab sebagai diskriminasi terhadap kaum perempuan Muslim.

Awal Perdebatan

Sejatinya Fereshta Ludin bukan seorang pejuang Muslim. Perempuan keturunan Afghanistan hidup sederhana sebagai warga Jerman di negara bagian Baden-Württemberg. Setelah menamatkan studinya di bidang pendidikan, Ludin yang sempat menghabiskan masa kecilnya di Arab Saudi itu, bekerja sebagai seorang guru di sebuah sekolah dasar. Sekilas, hampir tidak ada yang bisa dibedakan dari Ludin dengan warga Jerman lainnya. Ia berbicara tanpa aksen, memilah sampahnya secara teratur dan selalu tepat waktu. Ludin juga gemar berkebun dan berlibur. Namun satu hal yang membedakan Ludin dari warga Jerman lainnya: yaitu sepotong jilbab.

Dan jilbab yang dikenakannya itulah yang memicu perdebatan di hampir seluruh penjuru negeri, ketika pada tahun 1998 kepala sekolah tempat Ludin bekerja melarangnya mengenakan jilbab di ruang kelas, dengan alasan mengganggu netralitas sekolah dalam urusan agama. Ludin pun mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi di Kalrsruhe. Lima tahun berselang, penghadilan akhirnya memutuskan, siapapun tidak berhak melarang guru Muslim mengenakan jilbab di ruang kelas tanpa dasar-dasar konstitusional. Ludin pun terhibur dengan keputusan itu.

"Saya telah mempelajari keputusan itu dengan seksama. Dan saya sangat senang, bahwa majelis hakim mengeluarkan keputusan itu." Ungkap Ludin.

Human Rights Watch Logo

Negara Bagian Berwenang Keluarkan Undang Undang

Namun Ludin terlalu cepat berpuas diri. Meskipun terdengar melegakan, keputusan tersebut memberikan celah lebar yang berujung fatal. Pasalnya Mahkamah Konstitusi dalam putusannya juga memastikan hak konstitusional negara bagian untuk merumuskan larangan tersebut dalam bentuk undang-undang. Sementara perdebatan seputar arti simbolik yang dimiliki jilbab sedang hangat-hangatnya berlangsung, delapan negara bagian di Jerman bereaksi atas keputusan tersebut dengan mengamandemen Undang Undang Pendidikannya agar dapat mengucilkan jilbab dari ruang kelas.

Terhitung, Baden-Württemberg, Bayern, Berlin, Bremen, Hessen, Niedersachsen, Nordrhein-Westfallen dan Saarland melarang guru mengenakan jilbab atau simbol-simbol keagamaan lain di ruang kelas, sebagian malah melarang pegawai negeri mengenakan jilbab saat sedang bekerja. Aturan tersebut dirumuskan dalam waktu lima tahun sejak keputusan mahkamah konstitusi yang mengijinkan guru mengenakan jilbab selama tidak ada undang-undang yang melarang. Di lima negara bagian yang didominasi oleh warga konservatif seperti Bayern dan Hessen, larangan tersebut mengecualikan tradisi kekristenan Eropa.

Haleh Chahrokh direktur Eropa Human Rights Watch menjelaskan: "Ketentuan hukum di Berlin tidak mengenal aturan pengecualian. Berbeda dengan undang-undang di Baden Württemberg atau di Bayern. Formulasi ketetapan di Berlin mencakup semua agama dan semua simbol-simbol agama."

Satu Bentuk Diskriminasi

Kopftuch in Schwarz-Rot-Gold
Seorang perempuan kenakan jilbab warna bendera Jerman, berdomonstrasi di Köln menentang larangan jilbabFoto: dpa

Laporan setebal 73 halaman yang dipublikasikan oleh Human Rights Watch di Berlin itu menyebut larangan berjilbab yang kini berlaku di delapan negara bagian Jerman sebagai bentuk diskriminasi terhadap hak perempuan Muslim. Laporan itu sendiri adalah hasil penelitian yang dilakukan sepanjang tahun 2008. Dalam penelitiannya HRW mewawancarai penduduk, politikus, pemuka agama dan sejumlah akademisi dari universitas. Diantara yang dijadikan koresponden adalah 34 perempuan Muslim yang hidup di Jerman dan ikut terkena dampak larangan berjilbab di sekolah.

Laporan tersebut menurut Haleh Chahrokh menyinari dampak nyata yang ditimbulkan larangan tersebut terhadap hidup perempuan muslim di Jerman. "Sebagian bereaksi dengan memperpanjang liburan atau tidak lagi menjalankan pekerjaannya agar tidak harus lagi berhadapan dengan dilema antara profesi dan keyakinan beragama. Sebagian yang lain memilih menyiasati larangan tersebut dengan pindah ke negara bagian lain atau malah ke luar negeri. Tentu ada juga sekelompok perempuan yang terpaksa melepaskan jilbabnya agar bisa mempertahankan pekerjaannya."


Dalam laporan tersebut, para perempuan Muslim merasa asing dan terisolasi di tengah-tengah keberagaman masyarakat, meskipun sebagian besar lahir dan besar di Jerman.

Unterricht türkische Schülerinnen mit Kopftuch im Schulzentrum in Bremen
Siswi-siwsi berjilbab di satu sekolah di BremenFoto: AP

Jilbab Satu Bentuk Pengekangan?

Namun kenapa jilbab lantas menjadi fokus perdebatan soal simbol agama dan netralitas instansi pendidikan, Direktur Institut Hak Azasi Manusia di Jerman, Heiner Bielefeldt menjelaskan: "Tentu di baliknya ada sikap skeptis yang besar terhadap Islam. Jadi Islam sering diasosiasikan tidak modern, belum tersentuh pembaruan, dan menolak pembaruan. Khususnya dalam masalah perempuan, gambaran semacam itu cendrung mengakar."

Faktanya jilbab memang sering diasosiasikan dengan pengekangan terhadap perempuan oleh kaum pria dalam Islam. Hal tersebut didukung fakta, bahwa sebagian perempuan Muslim di Jerman mengaku dipaksa sang suami atau orang tua untuk mengenakan jilbab.

Alice Schweizer, Kepala Redaktur sebuah majalah konservatif perempuan Emma, menentang penggunaan jilbab di sekolah. "Korban pertama sebuah toleransi sepihak terhadap jilbab di sekolah adalah perempuan Muslim juga. Anak-anak atau remaja dapat dipaksa mengenakan jilbab. Sekarang saja sudah banyak anak-anak perempuan di sekolah yang dilarang mengikuti kegiatan olah raga oleh orangtuanya. Saya anggap itu sebuah skandal."

Schweizer terutama mengkhawatirkan, guru yang mengenakan jilbab dapat memberi pengaruh terhadap anak muridnya, dan terutama memberikan dorongan bagi orang tua murid untuk memaksa anaknya mengenakan jilbab. Namun hal tersebut ditampik oleh pegiat HAM Heiner Bielefeldt. Menurutnya terdapat banyak perempuan yang memutuskan memakai jilbab atas keinginan pribadi. Selain itu bagi sebagian perempuan Muslim, jilbab merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kewajiban menjalankan agama. Lagipula menurut Bielefeldt, perempuan berjilbab tidak serta merta merasa terkekang oleh peran sosialnya dalam Islam

Berlin Migration
Perempuan berjilbab di BerlinFoto: picture-alliance/ dpa

Arti Jilbab

Namun disitulah letak permasalah terbesar seputar polemik larangan berjilbab. Tidak jelasnya definisi jilbab itu sendiri, ditambah pertanyaan yang tak terjawab seputar hak siapa yang dilanggar semakin menambah kerumitan masalah. Seperti yang diungkapkan Heiner Bielefeldt: "Dilihat dari sudut pandang Hak Azasi Manusia, tema ini sangat rumit. Karena dalam hal ini terdapat beberapa sudut pandang, juga norma-norma HAM yang tadinya berdampingan dapat berbenturan satu sama lain. Semua yang mendalami arti jilbab memahamai betul, bahwa jilbab merupakan simbol yang sangat rumit dan multi-intepretasi. Jadi sangat problematis jika negara mengambil satu defisnisi mengenai jilbab dan menjadikannya dasar kebijakan yang restriktif."


Bielefeldt pun tidak bisa menampik, terdapat kemunkinan besar terjadi konflik kebebasan beragama antara sang guru dan murid-muridnya. "Memang pertimbangan semacam itu tidak bisa dihindari. Dalam kasus tertentu, saya kira mungkin saja pihak sekolah meminta seorang guru menanggalkan jilbabnya - tergantung konstelasi masalah. Tapi jika di awal sudah dilarang, tanpa terjadi konflik yang nyata, saya anggap itu tidak legitim."


Human Rights Watch mendesak pemerintah negara-negara bagian di Jerman mengkaji ulang undang-undang yang melarang penggunaan pakaian keagamaan di sekolah-sekolah. Selain itu HRW juga menuntut agar undang-undang serupa disesuaikan dengan aturan internasional tentang Hak Azasi Manusia. (rzn)