1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Lat di Jerman dalam "Si Bengal dari Malaysia"

Ayu Purwaningsih24 Oktober 2008

Siapa tak kenal Lat? Komikus ini telah menyihir para penggemarnya dengan karikatur-karikaturnya yang tak sekedar lucu, namun penuh makna. Baru-baru ini ia muncul di Pameran Buku Internasional Frankfurt, Jerman.

https://p.dw.com/p/FeL5
Lat di Frankfurter Buchmesse 2008
Lat di Frankfurter Buchmesse 2008Foto: Ayu Purwaningsih

Pesta buku terbesar dunia, Frankfurter Buchmesse tahun ini menghadirkan Turki sebagai negara tamu. Di tengah kehadiran tokoh-tokoh besar sastra Turki, termasuk pemenang Nobel Sastra Orhan Pamuk, menyelinap sosok unik dari Malaysia. Dikenal sebagai Lat, karikaturis kocak negeri jiran ini bukan sekadar datang memeriahkan anjungan Malaysia. Namun juga muncul untuk meluncurkan edisi Jerman dari komik pertamanya, yang boleh dikata merupakan karya klasik Lat. Berjudul Kampung Boy.

Bagaikan karikatur-karikaturnya, Lat tampil lucu dan enerjik. Berbusana khas Melayu lengkap dengan peci dan sarung tenun, komikus ternama Malaysia itu berulang kali memancing tawa pengunjung dalam peluncuran Kampung Boy dalam edisi Jerman, ia bercerita:

"Saya bersekolah di sekolah Malayu di desa. Bahasa Inggris saya tak begitu baik. Saat itu tahun 50 an. Bahasa Inggris sangat penting di negara kami…..Saya heran mengapa ada tujuh hari dalam seminggu dalam bahasa Malaysia, tapi ada sembilan hari di bahasa Inggris: Monday, Tuesday, Wednesday, Thursday, Friday, Saturday, everyday, yesterday…saya malu untuk tanya ke sepupu saya yang sekolah di sekolah Inggris. Tapi saya yakin suatu saat nanti saya akan tahu sendiri….."

Sekitar satu jam Lat berceloteh tentang karya dan hidupnya dalam forum temu penggemar di depan anjungan Malaysia di Pameran Buku Frankfurt 2008. Setelahnya, meski nampak letih, ia tetap meladeni para penggemar yang menginginkan tanda tangannya atau berfoto bersama. Diselingi canda dan gelak tawa. Poster besar Kampung Boy, komik pertamanya yang dibukukan dan kini telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, mendominasi anjungan Malaysia.

Bila saja tokoh bocah di Kampung Boy benar-benar nyata, mungkin usianya sudah 30 tahun sekarang dan mungkin juga sudah punya anak. Bisa jadi dia sudah menjadi warga kota dan keliling dunia. Yang jelas ia mestinya tak lagi telanjang bercawat seperti bocah-bocah kampung di Malaysia tempo dulu.

Waktu berlalu begitu cepat. Tak banyak pembaca buku Kampung Boy yang percaya, bahwa sudah lebih dari tiga dekade buku itu diterbitkan. Dan kini diterbitkan dalam bahasa Jerman. Dalam versi Jerman, Kampung Boy diterbitkan dengan judul „Ein Frechdachs aus Malaysia atau Si Bengal dari Malaysia.

Holger Warnk, antropolog yang juga bekerja untuk penerbit Horlemann, mengungkapkan, mengapa mereka menerbitkan terjemahan ini: „Pak Lat membuat komik yang sangat baik, sangat penting. Sedikit nostalgia melihat jaman dulu, baik di Malaysia maupun di Jerman. Ini salah satu sebab kenapa Lat dipilih sebagai terjemahan. Juga terdapat pendekatan beberapa kelompok Malaysia, termasuk Institut Terjemahan Negara Malaysia. Saya harap sukses.“

Siapa nyana, proses penerjemahan ini tak berlangsung dengan gampang. Butuh waktu yang cukup lama meyakinkan Lat mengenai kualitas terjemahannya. Tutur ketua eksekutif Institut Terjemahan Negara Malaysia, Mohd Khair Ngadiron: „Ada permintaan dari masyarakat Jerman. Namun Datuk Lat memerlukan penerjemah yang sangat serius. Tak bisa seenak-enaknya diterjemahkan.“

Nama populernya begitu pendek, Lat. Namun nama aslinya begitu panjang: Datuk Muhammad Nor Khalid. Ia mengaku awalnya hanya menggambar kartun dan menulis seri komik agar orang dapat mengenal Malaysia lebih dekat.

Sedangkan gagasan menulis komik Kampung Boy muncul tahun 1977 saat ia memperoleh kesempatan mengunjungi Amerika sebagai redaktur di sebuah harian besar Malaysia. Kala itu ia sedih, tak banyak orang tahu tentang Malaysia. Bahkan menurut Lat, tak sedikit yang menyangka Malaysia berada di Alaska. Saat kembali ke tanah airnya, mulailah buku itu disiapkan.

Latar belakang kisahnya adalah sebuah kampung di Malaysia di tahun 1950an. Tokohnya Mat, seorang bocah Melayu lucu yang tumbuh dengan tradisi budaya yang begitu kental. Dalam komik itu ia memunculkan berbagai hal secara sederhana namun lucu sekaligus informatif. Mulai dari ritual kelahiran, sunatan, belajar Al Qur'an, hingga kenakalan anak-anak pada umumnya yang menggelitik tawa. Semuanya muncul sangat hidup, karena didasarkan pengalaman langsung keseharian hidup pria yang lahir tanggal 5 Maret 1951 itu di masa kecil. tampaknya masa kecil Lat penuh lika liku menarik, ia berkisah tentang ulang tahunnya:

"Kami tak pernah tahu kapan hari ulang tahun kami sebelumnya hingga suatu saat saya bandel dan ayah ingin menghukum saya, namun ibu saya berteriak..jangan..jangan dipukul kan hari ini dia ulang tahun. Dia bisa dihukum hari lain….“

Bahasa Jerman merupakan terjemahan ke sembilan dari komik ini. Spanyol dan Italia berikutnya. Mengapa komik ini bisa menarik perhatian masyarakat dunia? Ingrid, penyuka Kampung Boy di pameran buku Frankfurt, berujar:"Lat menyampaikan ceritanya dengan kocak kepada pembaca. Sangat menyenangkan. Bagi anak-anak komik ini bisa jadi bahan obrolan untuk menunjukkan: lihat beginilah anak-anak di Malaysia tumbuh. Komiknya menyajikan cerita di tahun 50-60an. Sepertinya menceritakan masa kanak-kanak si pengarang. Tentu kini situasinya berbeda . Apa yang ia ceritakan tak jauh berbeda dengan komiknya. Misalnya bagaimana hubungan ibu dengan anak, ayah dengan anak, anak dengan anak-anak lain. Sungguh kisah yang hebat.”

Kampung Boy tentu hanya satu dari sekian banyak karya Lat. Karya-karya lain yang juga banyak dibicarakan antara lain Mat Som, sebuah komik mengenai seorang wartawan muda, juga dengan latar belakang budaya Melayu yang kuat. Buku-buku karya Lat lainnya kebanyakan kumpulan karikatur atau kartunnya yang sudah dimuat berbagai media.

Karya-karya Lat menampakan spontanitas yang tinggi, peka dengan situasi dan pandai menangkap kontras dari suatu situasi, yang memunculkan kelucuan. Dalam sebuah karikatur digambarkan seorang pedagang kaki lima, berpromosi tentang kehebatan sabun deterjen jualannya dalam menghilangkan semua noda yang menempel di baju. Ia berteriak-teriak: Semua hilang, semua hilang. Tak lama kemudian datang petugas ketertiban. Tentu saja semua jadi benar-benar hilang, termasuk barang dagangannya yang disita petugas.

Di karikatur lain, digambarkan seorang pengusaha sukses sedang asyik makan di sebuah restoran tradisional dengan menggunakan tangan. Di tengah keasyikan bersantap dengan tangan belepotan, telefon genggam di saku celananya berdering. Pusinglah ia berputar-putar untuk meraih telefon itu. Akhirnya si pelayan turun tangan membantunya.

Sebagian besar karya Lat memperlihatkan manusia Melayu yang satu kakinya hidup di suatu Malaysia modern namun kaki lainnya berpijak kuat di tradisi Melayu lama. Lat juga membuat sejumlah seri komik sejarah. Terlepas dari jenisnya, yang juga kental mewarnai karya-karya Lat adalah hubungan keluarga. Bagi Lat, keluarga memegang peranan penting dalam kehidupan seseorang. Diungkapkan Lat:„Kalau kita dibesarkan ayah dan ibu, atau oleh penjaga seperti paman, ada pula anak-anak yang dibesarkan oleh rumah anak yatim piatu, tapi tetap saja kita dibesarkan dalam pengawasan. Mereka yang membesarkan kita adalah orang yang paling penting bagi kita.

Bagi Lat, ayahnya adalah orang yang sangat membentuk hidupnya, yang membuka jalan baginya untuk menjadi komikus. Lat menggambarkan dengan jenaka: “Ayah saya pernah datang pada saya saat saya asyik menggambar, telinga saya dijewer katanya …Kamu nih kapan mau belajar? Hahaha….padahal kertas gambar pun dia yang beli. Kadang malah dia suruh saya menggambar dia.”

Lat telah menjelma menjadi seorang komikus Malaysia terkenal. Barangkali komikus sosial dari Asia, atau setidaknya Asia Tenggara yang paling dikenal di dunia internasional. Lat sadar, dunia sekarang sudah berbeda dibandingkan 30 tahun lalu. Namun ia yakin, karya-karyanya punya posisinya sendiri: "Anak-anak meminati komik modern seperti Manga dari Jepang. Tapi yang saya buat itu, misalnya Kampung Boy di tahun 1979 pun mereka suah punya mainan canggih atau komputer. Saya hanya ingin ingatkan angkatan baru tentang asal usul datuk nenek mereka yang tak lahir di rumah sakit…haha, di rumah. Penting mengetahui latar belakang keluarga kita.. Agar hubungan sosial menjadi baik. Di jaman modern ini jarang melihat hal tradisional. Tapi tradisi itu melekat. Anak sekarang punya kecenderungan elektronik, saya sebagai orang lama, akan tetap terus mendampingi mereka sebagai seorang datuk.“

Lat memang merupakan sosok paling terkenal dari dunia sastra Malaysia. Tak heran kalau kehadirannya dijadikan promosi khusus anjungan Malaysia di pameran buku Frankfurt 2008. Selain itu diluncurkan pula sejumlah buku Malaysia yang juga diterjemahkan ke bahasa Jerman. Seperti misalnya kumpulan cerita pendek berjudul Hawa, yang ditulis pengarang-pengarang perempuan Malaysia.