1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dampak Perubahan Iklim pada Kesehatan

Ziphora Robina25 Juli 2008

Perubahan iklim berdampak langsung dan tidak langsung pada kesehatan manusia. Imbasnya tergantung pada kawasan dan struktur ekonomi sosial masyarakat dunia.

https://p.dw.com/p/EjbU
Sun sets over minaret of mosque, Doha, Qatar, photoFoto: AP

Tepat lima tahun lalu, yaitu tahun 2003, kawasan Eropa mengalami musim panas yang sangat ekstrem. Antara bulan Mei sampai Augustus, suhu udara berulang kali mencapai rekor 40 derajat Celcius lebih. Di sebagian kota besar Eropa, aspal trotoar sampai mencair. Permukaan air danau dan sungai turun drastis. Karena kelangkaan air, sejumlah negara melarang warganya menyiram taman atau mencuci mobil.

Setiap hari, media melaporkan kasus kematian karena cuaca yang terlalu panas. Di Jerman saja, 7.000 orang diduga tewas karena fenomena cuaca ini. Profesor Gerd Jendritzky, pakar cuaca yang meneliti dampak perubahan iklim pada kesehatan manusia memaparkan:

“Ini membuktikan bahwa suhu udara berkaitan langsung dengan kesehatan manusia. Angka kematian hanya mendata sebagian korban fenomena alam ini. Ribuan lainnya menderita karena suhu yang panas, banyak yang masuk UGD dan harus dirawat di rumah sakit. Warga usia lanjut perlu perawatan khusus dan obat-obatan. Orang-orang yang sehat pun kewalahan dan kinerjanya menurun.“

Strandbad Wannsee
Danau Wansee die Berlin dipadati pengunjungFoto: PA/dpa

Di seluruh Eropa, jumlah korban tewas akibat cuaca di musim panas 2003 adalah 55.000 orang. Sebagian besar di antaranya warga usia lanjut. Mereka mengalami stroke atau gangguan pada pernafasan. Di kota-kota besar, suhu tinggi menyebabkan udara panas terperangkap dan mengikat zat-zat beracun. Tingkat polusi udara pun naik jauh di atas rata-rata. Skenario ini menunjukkan apa yang akan terjadi dalam 50 sampai seratus tahun ke depan bila dampak perubahan iklim tak dapat diredam, kata Profesor Gerd Jendritzky:

“Musim panas tahun itu adalah yang terpanas dalam 450 tahun terakhir. Ini betul-betul fenomena alam yang sangat jarang terjadi. Menurut simulasi komputer mengenai perubahan iklim, suhu dalam trimester terakhir abad ini kira-kira sama dengan musim panas 2003. Fenomena alam itu berubah menjadi standar suhu udara rata-rata hanya dalam dua generasi saja.“

Menurut Profesor Gerd Jendritzky, musim panas 2003 hanya merupakan satu contoh dampak langsung perubahan iklim pada kesehatan manusia. Contoh lainnya adalah naiknya permukaan air laut dan badai tropis yang mengancam hidup manusia. Selain dampak langsung, pemanasan global juga berdampak tidak langsung pada manusia. Akibat kemarau panjang terjadi kelangkaan air dan pangan. Dampak susulannya adalah peningkatan penyakit infeksi yang tersebar melalui bahan pangan, air dan juga perantara lainnya seperti serangga.

Manusia memiliki kemampuan untuk hidup di kawasan dengan cuaca ekstrem dan kondisi berat sekalipun. Buktinya, manusia menetap di mana-mana, mulai dari warga Afrika yang hidup di gurun Sahara sampai Eskimo di kawasan Alaska yang tertutup lapisan es abadi. Ini dimungkinan karena kemampuan manusia untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

“Manusia dapat beradaptasi, tapi kemampuan untuk menyesuaikan diri itu terbatas. Terutama orang-orang yang kondisi tubuhnya lemah karena sakit atau usia lanjut, mereka lebih rentan terhadap perubahan iklim.“

Demikian diungkap Profesor Gerd Jendritzky, dosen kehormatan di Universitas Freiburg. Dalam penelitiannya ia menemukan bahwa dampak perubahan iklim akan dirasakan di seluruh kawasan dunia. Hanya saja, bentuknya berbeda-beda. Kenaikkan suhu udara rata-rata misalnya lebih dirasakan di kawasan dekat kutub. Kawasan tropis dan subtropis, yaitu daerah dekat Khatulistiwa, mengalami peningkatan kelembaban udara.

Überschwemmung in Bangladesh
Banjir di Chittagong, BangladeshFoto: AP

Parah atau tidaknya dampak perubahan iklim pada manusia tergantung dari komponen sosial ekonominya. Imbas perubahan iklim lebih dirasakan warga miskin dan penduduk negara berkembang daripada warga kelas menengah dan negara-negara maju, kata Gerd Jendritzky. Bandingkan saja situasi di negara dan maju bila menghadapi banjir. Misalnya di Belanda. Sebagian kawasan negara kincir angin terletak di bawah permukaan laut. Tapi negara itu jarang mengalami banjir karena tanggul dan sistem kanalisasinya berfungsi baik. Sebaliknya, di Asia, banjir selalu terjadi bila musim hujan tiba.

“Sebagian Bangladesh misalnya terletak satu meter di atas permukaan laut, tapi tiap kali negara itu dihantam badai kembali terjadi banjir besar-besaran. Bila terjadi bencana kekeringan, negara-negara maju tetap dapat membeli bahan pangan di pasar dunia walau harganya melambung. Dampak perubahan iklim memang akan lebih terasa di negara berkembang dan miskin dunia.“

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dari 600.000 orang yang tewas akibat cuaca yang ekstrem di tahun 90an, hampir 95 persen adalah penduduk negara miskin dan berkembang. Banyak korban meninggal karena dampak tidak langsung perubahan iklim. Misalnya, akibat penyakit Malaria yang mewabah. Cuaca tertentu mendukung penyebaran nyamuk yang membawa parasit penyebab Malaria. Saat ini, penyakit tersebut masih ditemukan antara lain di Afrika, Cina, Asia Tenggara dan Amerika Latin.

Sementara di kawasan Eropa, Amerika dan Australia, perubahan iklim akan membawa dampak yang berbeda. Setelah tahun 2003 cuaca ekstrem di Eropa menelan ribuan korban, pemerintah negara Eropa merumuskan kebijakan untuk mengantisipasi fenomena alam serupa.

Luftaufnahme Kölner Innenstadt
Tampak udara kota Köln, JermanFoto: dpa

“Cara-cara yang dapat dilakukan misalnya dengan mengubah tata kota, menambah jalur hijau dan menyesuaikan arsitektur gedung-gedung. Sebagian besar rumah adat dibangun sedemikian rupa sehingga sesuai dengan iklim atau cuaca setempat. Rumah-rumah harus disesuaikan agar tahan cuaca yang esktrem, baik itu suhu sangat dingin maupun sangat panas.“

Profesor Gerd Jendritzky menambahkan, pemerintah Jerman pun menarik pelajaran dari musim panas ekstrem tahun 2003. Waktu itu, tenaga medis dan rumah sakit kewalahan karena tidak dapat menampung ribuan pasien yang mengeluh karena sakit kepala atau bahkan pingsan karena cuaca panas. Kini, Jerman memiliki semacam sistem peringatan dini untuk perubahan cuaca yang terlalu esktrem. Gerd Jendritzky menjelaskan:

“Badan Meteorologi Jerman memiliki mekanisme pengawasan dan bila mereka mendeteksi suhu udara yang sangat tinggi, maka mereka meneruskan informasi itu pada instansi dan kementerian yang bersangkutkan. Langkah berikutnya adalah rumah sakit, panti jompo dan masyarakat luas. Pemerintah Jerman belajar dari pengalaman pahit tahun 2003 bahwa di masa depan masyarakat Jerman pun rentan terhadap perubahan iklim global.“