1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jakarta Berlin Arts Festival Digelar di Jerman (bag.1)

1 Juli 2011

Sekitar 100 seniman didatangkan dari Indonesia, selama satu minggu penuh berlangsung Jakarta-Berlin Arts Festival di kota Berlin.

https://p.dw.com/p/11nTz
Banjar Gruppe bersama Paul GutamaFoto: Soegijo

Ada banyak alasan mengapa orang menyelenggarakan sebuah festival budaya. Festival seni Jakarta Berlin mengangkat kedekatan dua kota besar dengan situasi yang mirip: Ibukota dimana penduduknya datang dari berbagai kota dan negara.

Martin Jankowski, kurator dan ketua penyelenggara festival ini mencoba mendekatkan situasi ini, "Kedua kota Berlin dan Jakarta selalu disebut sebagai kota tempat bertemunya berbagai budaya. Jakarta dan Berlin adalah sister city sejak 1993. Ide saya adalah membangun kontak antara dua kota yang kaya budaya ini. Idenya adalah membuat festival budaya antara dua kota".

Konsepnya terdengar sederhana, namun mewujudkannya tidak mudah. Ide itu awalnya muncul pada tahun 2004, 7 tahun dibutuhkan untuk sampai pada bentuk festival seperti ini. Penggagas festival, Martin Jankowski percaya, seni budaya Indonesia bisa dikenal lebih baik lagi oleh orang Jerman. "Kita mencoba untuk membuka sebuah pintu pikiran orang orang Berlin dan jalan terbaik adalah menawarkan program budaya."

Lokasi festival ini tersebar di berbagi tempat di Berlin. Panggung utamanya, Admiral Palast Freidrichstrasse, Panda Theater dan taman terbuka Monbijoupark. Seniman Heri Dono memamerkan 3 karya instalasinya berjudul The lost magician di Alexander Ochs Galleries Berlin Beijing.

Dua pertiga dari peserta di Jakarta Berlin Arts Festival datang khusus dari Indonesia. Sisanya adalah seniman Indonesia yang tinggal di Eropa dan artis Jerman. Selain pertunjukan seni panggung, selama festival berlangsung diskusi sastra dengan para sastrawan Indonesia seperti Agus Sardjono.

Martin Jankowski yang juga sastrawan Jerman menjelaskan, "Literatur hanyak merupakan program tambahan dari festival ini. Kami bekerja sama dengan Literatur Werkstatt, sebuah institusi sastra penting di Berlin. Festival ini menekankan pada teater, musik, tarian karena orang orang di Berlin tidak memiliki latar belakang pengetahuan budaya Indonesia.

Melihat nama-nama seniman dan kelompok seni yang dari tadi disebutkan, banyak diantaranya yang tidak berasal atau tinggal di Jakarta. Lalu mengapa festival ini tetap disebut sebagai Jakarta Berlin Arts Festival?

Kembali Martin Jankowski, "Kebanyakan dari mereka bukan berasal dari Jakarta. Mereka datang dari berbagai negara dan tempat tempat lain di Indonesia. Situasinya sama seperti di Berlin. Apa yang kita cari adalah warna menarik dari Jakarta kini. Yang paling penting, mereka membawa dan menunjukkan semangat Jakarta."

Nama seniman yang tidak berbau Jakarta, misalnya Graham Hains. Fotografer asal Australia ini sudah 4 tahun menetap di Jakarta. Hains memamerkan 30 karyanya di lobby kantor walikota Berlin, Rotes Rathaus. Foto-fotonya bertemakan orang orang yang tinggal dan bekerja di Jakarta.

Dalam satu foto tampak sepasang suami istri. Mereka duduk di sofa ruang duduk mereka. Ruangan luas berlantai marmer itu dihiasi dengan televisi layar datar super besar dan foto keluarga berpigura keemasan. Pintu menuju taman belakang berhiaskan tirai beludru. Mereka adalah pasangan Trisno Budijanto dan Murniati Widjaja, pengusaha restoran waralaba Es Teler 77.

Dalam foto lain tampak seorang dokter hewan perempuan, Suryani Handja di ruang prakteknya sedang memeluk seekor kucing abu-abu. Lalu ada seorang perempuan bernama Ayu, pembantu rumah tangga di Jakarta yang dipotret di dapur, tempat dia sehari hari bekerja tanpa riasan wajah namun penuh kebanggaan.

Sebelum memotret mereka, Graham Hains menerangkan apa yang ingin ia tampilkan lewat fotonya, "Saya katakan pada mereka mengenai tinggal di Jakarta , mengenai bangga menjadi orang Indonesia dan mereka lekat dengan citra tersebut sehingga mereka antusias dengan idee tersebut.

Ke-30 foto tersebut menggambarkan kehidupan penduduk Jakarta dari kalangan menengah atas. Bagaimana dengan mereka yang hidup di kalangan bawah? Graham Hains punya misi, "Secara moral, kurang pantas rasanya datang ke negara berkembang dan memotret orang orang miskin. Orang orang ini sama baiknya dengan kita di negara maju. Pameran ini bertujuan untuk menunjukkan pada orang orang Jerman bahwa orang di Asia bukannya terbelakang. Mereka setara dengan kita, walau kulit dan matanya beda, sisanya sama saja".

Jakarta Berlin Arts Festival Flash-Galerie
Sena Didi Mime di BerlinFoto: Sena Didi Mime

Dari tanggal 25 Juni hingga 3 Juli, Jakarta Berlin Arts Festival menawarkan serangkaian seni pertunjukan dengan sejumlah kelompok seni yang sudah dikenal di tanah air. Misalnya kelompok tari Pandecwara pimpinan Retno Maruti. Kelompok tari dari Institut Kesenian Jakarta, Teater dengan Wayang yang dimainkan oleh PMtoh, Pantomim oleh Sena Didi Mime dan Konser kelompok music Krakatau. Di penghujung festival ini, sebuah Fashion Opera dibawakan oleh kelompok pimpinan desainer fashion Indonesia ternama, Harry Darsono.

Acara Pembukaan

Gegap gempita Festival Budaya Jakarta Berlin baru saja dibuka. Sekitar 200 undangan memenuhi kursi penonton di studio Admiral Palast Berlin, Sabtu malam lalu. Acaranya dibuka dengan atraksi gong oleh Sayo, seniman asal Surabaya yang tinggal di Berlin lebih dari 20 tahun. Selanjutnya, permainan piano oleh pianis kembar Sonja dan Shanti Sungkono. Kedua pianis ini membawakan karya Ananda Sukarlan berjudul “The Twain should meet“ yang khusus dibuat untuk pembukaan festival ini . Alunan pentatonis terdengar harmonis

Pembukaan festival ini memang sengaja menampilkan para seniman Indonesia yang tinggal dan berkarya di Jerman. Paul Gutama dengan kelompok Banjar Gruppe menampilkan karyanya yang paling mutakhir.

Paul Gutama yang telah tinggal lebih dari 40 tahun di Berlin tampak berseri seri, "Saya memang bahagia karena publik menyambut pentas perdana 2 karya saya bagus sekali lau kita mainnya tidak selalu beres: Itu biasa kalau pentas perdana. Pasti masih ada yang kurang."

Banjar Gruppe selalu tampil dengan instrumen Gamelan. Beranggotakan 6 orang Paul Gutama merupakan satu satunya orang Indonesia. Alunan gamelannya lembut, tapi pesannya sangat kuat. Tutur Paul Gutama, "Repertoir yang satu adalah kesan mengenai Tengaran, didalam teksnya ada teks bahasa Jawa yang menyindir, Padang Jinggrang, artinya terang benderang, damai warna warni, tetapi demokrasi itu demokrasi Indonesia. Isih ono gendruwo lan setan leliweran, masih ada gendruwo dan setan yang berkeliaran."

Repertoir terakhir yang menjadi penutup acara pembukaan itu berjudul Sekar Melati. Menurut Paul Gutama, karena didalamnya ada kata Scarlatti, komponis Eropa, Itali, dari abad 16, Barock. Musiknya dapat inspirasi dari Scarlatti."

Miranti Hirschmann
Editor: Edith Koesoemawiria